Tidak ada yang berubah setelah Ani tinggal di rumah Sulaiman, suaminya. Suasana rumah tetap sama. Hanya menambah satu anggota keluarga saja. Setelah ayah dan ibu mertuanya, ada dua adik ipar dan suaminya, ditambah Ani. Jadilah enam anggota keluarga di dalamnya.
Ani, si menantu pertama di rumah itu. Hari–hari dia memasak, membersihkan rumah, mencuci baju, dan melakukan hal lain layaknya perempuan yang sudah jadi istri. Begitu setiap hari. Berulang–ulang.
Pernah dia demam, ingin tidur seharian, tetapi tidak ada yang memasak, mencuci, membereskan rumah dan menunggui suaminya pulang kerja. Akhirnya dia bangun, tetap melakukan pekerjaannya yang diulang–ulang meski badan terasa kedinginan.
Empat bulan lagi Ani melahirkan. Anaknya perempuan. Ani sudah diwanti–wanti ibu mertuanya untuk bisa melahirkan normal. Agar tidak mengelurkan biaya berlebihan, bayi sehat dan ibu selamat.
Perutnya sudah besar, Ani tetap melakukan pekerjaan yang selalu dia ulang: memasak, mencuci, dan membereskan rumah serta menunggu suaminya pulang. Kadang mengidam, ingin makan sesuatu, tapi tidak berani menyampaikan. Akhirnya Ani hanya menelan ludah sendirian.
Waktu itu dia tidak ada pilihan selain menikah. Tidak sekolah, diam di rumah bersama bapak seorang nelayan yang sehari–hari makan dengan menunggu hasil tangkapan ikan. Ani sendirian ketika bapaknya sedang berlayar.
Ani cantik, walau tidak pernah bersolek. Bapak selalu pulang di siang hari dengan membawa ikan. Ikan tersebut siap untuk dibakar. Tidak pernah digoreng, jangankan untuk membeli minyak, beras pun kadang tak mampu dibeli.
Hari itu ombak besar dan angin kencang, Ani melarang bapak berlayar, tapi kalau tidak berlayar tidak ada yang dimakan. Lima hari bapak melaut dengan cuaca buruk dan kekhawatiran di hati Ani. Tapi bapak tetap pulang dengan senyuman dan membawa tangkapan ikan.
Sampai suatu hari bapak pulang dengan banyak uang. Senyum semringah bapak terlihat sekali. Bapak mengajak Ani ke pasar untuk membeli apa yang Ani mau. Baju, perhiasan dan makanan enak. Ani turut Bahagia karenanya.
Dua bulan kehidupan mereka membaik tanpa bapak harus melaut. Stok beras aman bahkan untuk bulan depan. Mereka bisa membeli daging tanpa harus makan ikan setiap hari. Sebenarnya Ani penasaran dari mana bapak mendapatkan uang, tapi dia tidak berani bertanya. Bapak selalu mengajarinya untuk menjadi perempuan penurut dan tidak banyak bicara. Setidaknya Ani senang karena tidak perlu khawatir melepas bapak melaut dalam kondisi cuaca tidak baik.
Namun uang yang disimpan bapak semakin menipis. Bapak harus kembali melaut. Kali ini Ani menunggu bapak hingga larut. Bapak tidak kunjung pulang. Ani menangis sesenggukan takut kalau bapak ditelan ombak. Setelah semalaman menunggu, akhirnya Ani meminta tolong para tetangga untuk mencari bapak. Ternyata bapak tidak pernah ditemukan. Ani yang malang kehilangan bapak dan harus hidup seorang diri.
Ani tidak tahu bagaimana caranya mencari uang. Dia dididik menjadi perempuan rumahan yang penurut dan melakukan pekerjaan rumah dengan baik. Meski tidak ada kabar, Ani tetap menunggu bapak pulang.
Satu bulan sudah Ani ditinggal bapak. Ia hidup dari belas kasihan warga. Sampai suatu hari, Sartono, ayah Sulaiman datang untuk memintanya menjadi menantu. Waktu itu Ani tidak bisa berpikir panjang, lantas dia menyetujui permintaan orang tua Sulaiman, didukung dengan persetujuan para tetangga daripada Ani harus terus hidup sendiri, pikir mereka.
Ani dipersunting oleh Sulaiman. Dibawa pulang ke rumahnya dan menjadi menantu di sana. Dia tidak tahu banyak soal bagaimana menjadi menantu. Yang dia tahu hanya mengerjakan pekerjaan rumah; memasak, mencuci, dan membereskan rumah. Ditambah menunggu suaminya pulang kerja sama seperti dia dulu menunggui bapaknya pulang melaut.
Ani pindah kota. Dia tidak begitu ambil pusing soal menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Yang dia tahu hanyalah memasak, mencuci, dan membereskan rumah serta menunggui suaminya pulang.
Ani tidak mengurus uang belanja, tidak pula tahu di mana suaminya bekerja. Ani hanya memasak, mencuci, dan membereskan rumah serta menunggui suaminya pulang bekerja. Dia melakukan seperti apa yang bapak didik padanya.
Ibu–ibu tetangga barunya mengelu–elukan Ani. Dia menjadi contoh menantu yang baik di lingkungan barunya. Jangankan untuk melawan mertua, seperti yang dilakukan menantu–menantu pada umumnya, bertanya soal bagaimana orang tua suaminya bisa melamarnya saja dia tidak pernah. Ya, begitulah Ani.
Setiap menantu di desa tempatnya tinggal harus menjadi seperti Ani. Meski dia menjadi pujaan para ibu–ibu mertua, Ani tidak peduli. Dia tetap melakukan pekerjaannya; memasak, mencuci, dan membereskan rumah serta menunggu suaminya pulang.
Mendekati waktu melahirkan, tiba–tiba Ani rindu pada bapak. Tapi dia tidak pernah menyampaikan perasaannya kepada siapa pun, termasuk pada Sulaiman. Dia hanya menangis sambal mencuci, memasak dan membereskan rumah.
Sampai suatu hari Ani menemukan kertas berisi foto bapak. Kertas itu berwarna abu–abu tipis. Dia tidak tahu tulisan apa yang ada di dalamnya. Ani tidak bisa membaca. Ani menyimpan kertas itu karena ada foto bapak di dalamnya. Setidaknya itu bisa mengobati rindunya. Bahkan dia tidak pernah bertanya kenapa ada foto bapak dalam kertas itu.
Ani akan melahirkan. Ibu mertuanya tidak begitu sibuk dengan kesakitan Ani. Dia membawanya ke bidan terdekat untuk membantunya melahirkan. Bayi Ani tidak selamat. Ani bersedih karenanya. Ani semakin rindu bapak. Barulah Ani bertanya dalam dirinya, apakah begini rasanya menikah.
Tahun kedua pernikahan, Ani belum hamil kembali setelah anak pertamanya meninggal. Ani tetap menjalani hari–harinya seperti biasa; memasak, mencuci, dan mengerjakan pekerjaan rumah. Tapi kali ini dia jarang menunggui suaminya pulang bekerja. Sulaiman menjadi jarang pulang. Sebenarnya dia takut kehilangan Sulaiman seperti kehilangan bapak yang tidak pulang saat berlayar. Tapi dia tidak berani bertanya. Ani memilih diam.
Sampai suatu hari, jika dihitung–hitung tepat 30 hari suaminya tidak pulang. Dia memberanikan diri bertanya pada ibu mertuanya. Ibu mertua menjawab dengan singkat bahwa Sulaiman sedang bekerja. Mendengar jawaban itu, hati Ani menjadi lega. Setidaknya suaminya masih hidup. Tidak seperti bapak yang meninggal ketika ia menungguinya pulang.
Ani adalah menantu. Meski dua tahun menjadi menantu di rumah itu, keadaannya tidak banyak berubah. Ibu mertua tidak mengizinkan Ani mengubah apa pun. Ani hanya memasak, mencuci, dan membersihkan rumah.
Ani tidak pernah protes karena begitulah bapak mengajarkan Ani. Sekarang Ani hanya bisa melihat foto bapak pada kertas lusuh di tangannya dan foto Sulaiman yang terpajang di dinding rumah. Ani tidak berani menurunkan foto itu, walau dia ingin sekali. Ani takut ibu mertua akan marah.
Sampai suatu hari, Ani tidak sanggup lagi menahan rindu dan penasaran pada foto bapak dalam kertas yang ia pegang. Ia memberanikan diri bertanya pada salah seorang tetangga soal foto bapaknya. Baru dia tahu bahwa itu adalah sobekan dari salah satu surat kabar.
“’Harmoko, Seorang Nelayan Perampok Toko Perhiasan Sartono’, begitu isi tulisan koran ini Ani,” kata tetangganya.
Situbondo, 31 Juli 2023