Kamu terkejut saat layar laptop di meja kerja tiba-tiba menyala. Pointer bergerak sendiri, mengarahkan pada situs dengan dominasi hitam berhiaskan kelopak mawar senada sebagai latar. Seolah-olah ada magnet yang menarik seluruh keingintahuan, kamu memilih duduk di kursi seraya menegakkan punggung yang kaku. Terpaksa menunda waktu tidur sekalipun kelelahan.

Keanehan demi keanehan terjadi. Seakan-akan hal-hal di luar nalar itu tengah sengaja menampakkan diri.

Bisa kamu rasakan ujung-ujung jemari yang dingin, mengantarkan sensasi gugup. Terutama, ketika sepasang mata bulatmu mendapati susunan kata yang menyambut.

Selamat datang, Citra Violetta.

Namamu terpampang di sana. Menyita atensi dan memacu sel-sel otak berpikir lebih keras. Bagaimana mungkin? Apa yang terjadi? Tak lama, kamu tidak lagi memedulikan pertanyaan yang membanjiri pikiranmu. Toh, meski ngeri, entah mengapa firasatmu berkata, apa yang kamu butuhkan ada di sana.

Tanpa diminta, pointer itu menggulirkan laman ke bawah seakan-akan mampu membaca pikiran. Padahal, aku yang menggerakkannya. Ekspresi pucat—tetapi sok kuat—itu masih tergurat di wajahmu. Menarik untuk kupandang.

Puncaknya, ketegangan berhasil meruntuhkan ketenangan, di saat dua kalimat pembuka menyentakmu.

Perkenalkan, Penjual Kematian siap melayani 24 jam. Kami, adalah solusi dari kamu yang ingin pergi selamanya tanpa menanamkan duka yang menyiksa.

Untuk sepersekian detik, hatimu bersorak ria, menggelinjang tak keruan. Ah, perasaan yang ada di ambang sekarat itu, tidak salah lagi akan segera menemukan titik terang. Pasti melegakan.

***

Bagi segelintir orang yang hanya mengenali bagian luar dan topeng yang membungkus wajahmu, mungkin terheran. Kenapa perempuan sesempurna dirimu menumbuhkan pikiran suram untuk mengakhiri hidup? Rasanya, mustahil dan sulit dipercaya.

Banyak yang memuji nama Violetta cocok menggambarkan kepribadianmu. Bak bunga violet yang hadir membawa kasih sayang juga kenyamanan. Sosokmu terkenal ramah, ceria, pendengar yang baik, dan selalu membantu mengurai emosi-emosi negatif di sekeliling.

Tanpa sadar, banyak masalah orang lain yang ikut bergelantung di lengan kurusmu. Bisa dibilang, kamu lebih mencintai mereka ketimbang diri sendiri. Segala hal menekan, hingga sesak tak tertahankan. Menepuk pelan dada tak seefektif dahulu dalam membantumu tetap bernapas. Tampaknya, ketahananmu telah mencapai batas.

Kepalsuan yang membalut segala kekurangan, sudah saatnya dilepas. Kamu ingin orang lain dapat menerima dirimu—tanpa mengaitkan dengan apa pun. Karena berusaha agar diterima seperti apa yang mereka inginkan, luar biasa melelahkan. Namun, seandainya semudah itu, pasti dapat kamu lakukan sejak dahulu.

Aku senang, menyaksikan bagaimana kamu tumbuh dan bermain di telapak tangan kami. Teperdaya hingga sudah saatnya tirai pertunjukan ditutup—menuju kematian.

Memperhatikanmu yang makin serius menyelisik isi situs tersebut, kurasa sudah saatnya muncul dan memperkenalkan diri. Kamu bahkan mengikuti suruhan aneh untuk memejamkan mata seraya menyatukan telapak tangan, lalu memohon.

Aku muncul tepat di dekat kursimu. Meminjam sosok jakal, anjing hutan bermoncong panjang seperti rubah dengan bulu kecokelatan yang memesona.

“Halo, Pelanggan.”

Kamu yang kaget mendengar sapaanku, spontan terjatuh dari kursi. Dengan ekspresi bingung berucap, “I-ini su-sungguhan?”

Padahal kamu nyaris tidak pernah menangis, tetapi kini terisak tanpa dapat dicegah. Entah sedih atau mungkin bahagia?

Cara paling mudah memahami manusia, mengintip langsung ke sudut hati dan membongkar memorinya. Saat ini, itulah yang kulakukan. Menatap kedalaman matamu yang redup.

Ada memori ketika kamu dengan lihai menyelesaikan berkas-berkas dan memfotokopi pekerjaan yang seharusnya bukan urusanmu. Setiap kata ‘tolong’ keluar dari mulut orang lain, tanpa pikir panjang, akan selalu kamu iyakan. Jauh di dalam dirimu, makin hari makin berkabut—mendekati keputusasaan.

Lebih jauh lagi, ingatan tentang kakakmu yang telah meninggal setahun lalu masih tersimpan. “Citra, soal uang tenang saja. Kakak bakal kerja, yang penting kamu harus kuliah.” Dia mengatakan itu dengan entengnya. Padahal kamu tahu sangat baik, bahwa dia harus melepas impian. Lalu, akibat memaksakan diri bekerja terlalu keras, Tuhan mengambilnya lebih cepat.

Tidak hanya itu, ibumu yang tua renta—tanpa peduli kesehatan—selalu menyempatkan diri mengunjungimu ke kota. Demi mengantar makanan, membantu merapikan tempat tinggal, dan tentu untuk melepas rindu terhadap putri bungsunya. Meski telah membujuk untuk tinggal bersama, dia bersikeras menolak karena takut membebanimu.

Seandainya aku tidak ada, Ibu bisa lebih mementingkan diri sendiri. Juga, aku sudah capek dan setres berbuat baik kepada semua orang. Kurang lebih, begitulah jeritan hatimu yang terbelenggu.

Setelah cukup memahamimu, aku pun bertanya, “Pelanggan, apa Anda ingin membeli kematian?”

Cepat-cepat kamu mengusap air mata. Memperbaiki posisi duduk di lantai, lalu menjabat tanganku yang berbulu. Butuh beberapa saat hingga kegugupan dan keterkejutanmu reda, lantaran melihat sosokku yang tak terduga.

Mata sendu itu menyiratkan segala keresahan. Bibir tipismu bergetar sebelum akhirnya menemukan kata yang tepat. “Tuan, jika ini bukan mimpi ….” Kalimatmu terhenti. Kamu menengadah, berusaha menahan air mata yang lagi-lagi sulit dibendung. Baru kali ini perasaanmu tidak bisa diajak kompromi. Seenaknya mengambil alih. “Apa benar aku bisa mati tanpa membuat orang sekitarku terluka dan menderita?”

“Tentu, Anda tinggal memilih ingin meninggal karena penyakit, kecelakaan, atau bencana alam. Dengan menggunakan jasa kami, Anda bisa mati tanpa harus bunuh diri. Orang yang Anda tinggalkan, pasti akan menerima kematian Anda dengan ikhlas.”

Tanpa ragu, kamu mendekapku erat. Seolah-olah aku ini hewan peliharaan. Benar-benar manusia rendah yang kurang ajar. “Bunuh aku secepatnya dengan penyakit yang instan. Aku tidak ingin mati dalam kecelakaan, mayatku yang tergeletak di jalan, bisa jadi membuat Ibu trauma,” bisikmu dengan suara amat parau.

“Kalau begitu, aku punya solusi yang tepat.” Susah payah kutahan tawa, kamu ini terlalu lucu dan bodoh. Hidup demi kebahagiaan orang lain, mati pun memedulikan yang lain. Sudah kuduga, membujuk manusia depresi memang hal paling mudah untuk membuat kesepakatan.

***

Pagi itu, kamu pikir semuanya cuma mimpi. Tersadar di tempat tidur, tanpa ada yang aneh dengan kondisi kamar. Ingatan terakhir, kamu mengisi data pribadi di situs dan menyetujui sisa kehidupanmu diserahkan pada kami—sebagai pembayaran dari kematian yang dibeli. Namun, kamu tertegun ketika menyadari pil hitam—yang kuberikan—berada di genggaman. Itu artinya, semua nyata.

Sebuah pesan singkat kamu kirimkan ke ibumu.

Ibu, I love you.

Kamu menelan pil dan mendorongnya dengan segelas air. Detik berikutnya, dadamu terasa nyeri, seperti ditindih benda berat. Perlahan, sakit itu menjalar hingga ke punggung. Napasmu sesak. Makin lama tubuh terasa lemas. Bahkan, matamu sulit terbuka. Dengan sengaja kamu kembali membaringkan diri di tempat tidur. Menunggu waktu berlalu, hingga embusan terakhir.

Wajah pucat itu menyunggingkan senyum terindahnya. Mungkin, ekspresi menjelang kematian adalah ekspresi paling jujur yang pernah kamu perlihatkan. Tanpa penyesalan sedikit pun. []

*) Image by istockphoto.com