Mata itu menatapku tajam seperti hari-hari kemarin. Aku mencoba tak menghiraukannya, tapi aku merasa mata itu terus mengikuti sampai masuk rumah dan menutup pintu. Cepat-cepat kukunci pintu rapat-rapat. Mata itu mirip sekali. Ya, mirip sekali. Sungguh, aku tak percaya mitos dan tak mau percaya kalau kucing punya sembilan nyawa. Namun, semakin aku mengingat mata itu, seolah aku tersihir dan yakin bahwa pemilik mata itu adalah kucing yang kubunuh beberapa bulan yang lalu.
Senja semakin temaram. Tiba-tiba rasa ngeri menyergap tengkukku. Buru-buru aku pergi ke kamar tidur. Tubuhku menggigil. Kuraba dahiku. Terasa lebih panas dari biasanya. Aku pun berbaring di ranjang. Kutarik selimut dan kubungkus tubuhku. Aku berbaring miring ke kanan. Aku pandangi foto istriku yang sudah dua bulan ini meninggalkanku. Dia telah pergi ke alam baka untuk selamanya.
Foto yang tergantung di dinding itu sedikit membuatku tenang. Aku amati rambutnya yang menjulur ke bahu. Aku susuri alis tebalnya, mata yang teduh, dan senyum manisnya yang menenangkan. Namun, aku kembali bergidik ketika pandangan mataku sampai ke pangkuannya. Si Manis, begitu istriku menyebutnya. Seekor kucing hitam yang kami rawat sejak kecil. Kucing yang sehari-hari menemani istriku di rumah ketika mencuci piring atau menyetrika, atau ketika berbelanja ke tukang sayur keliling yang mangkal di gang sebelah. Tak jarang kucing itu juga duduk di pangkuan istriku ketika berada di depan laptop untuk mengurusi toko online-nya. Bahkan kadang kucing itu ikut tidur di ranjang kami.
Sebelum menikah aku sudah tahu dan melihat dengan mata kepala sendiri betapa istriku amat menyayangi binatang berkumis itu. Aku mengira setelah menikah aku akan terbiasa. Toh pada dasarnya aku juga bukan pembenci binatang. Aku juga sama sekali tak alergi pada bulu kucing atau hewan-hewan berbulu lainnya. Maka aku mengiyakan saja ketika istriku berinisiatif membawa anak kucing kesayangannya dari rumah orang tuanya.
Sayangnya, apa yang kita bayangkan memang sering kali berbeda dengan kenyataan. Itu pula yang terjadi padaku dan kucing itu. Semula aku membayangkan bisa berkawan baik dengan binatang kesayangan istriku itu. Aku jadi senyum-senyum sendiri saat mengingat rayuanku kala kami masih pacaran. “Aku akan menyayangi siapa pun dan apa pun yang kamu sayangi,”begitu ucapku. Di minggu-minggu pertama pernikahan kami, sebenarnya relatif berjalan lancar. Aku bisa menerima kehadiran kucing itu dengan baik. Bahkan, boleh dikata Manis adalah seekor kucing yang baik dan penurut. Manis tidak buang kotoran sembarangan. Ia juga tak pernah mencuri lauk kami. Kucing itu hanya makan makanan yang disediakan baginya. Kucing itu juga amat terjaga kebersihannya karena istriku rajin memandikannya dan menyisir bulu-bulunya.
Aku gali kembali ingatanku kapan sebenarnya aku mulai membenci kucing itu.
Membenci? Ah, rasanya kata-kata itu kurang tepat. Hmm apa ya…, oya, aku tahu, cemburu. Ya, boleh dibilang kucing itu membuatku merasa cemburu atau iri. Sejak kapan? Apakah sejak saat malam pertama? Ah, tidak. Bukan malam pertama. Memang sih, saat malam pertama aku sempat dikejutkan oleh kemunculannya di sela-sela kami sehabis ronde pertama pergumulan. Namun, aku ingat betul, saat itu kami hanya tertawa kecil melihat ulahnya. Tidak, tidak ada rasa benci atau cemburu. Bahkan aku mencoba menyukainya, berusaha menyayanginya. Seminggu berlalu, dan semua baik-baik saja.
Ingatanku tiba-tiba menyeruak. Tergambar olehku peristiwa sekitar sebulan sesudah kami menikah. Ya, kurang lebih sebulan. Mungkin lebih satu atau dua hari. Aku tak ingat persisnya. Yang jelas kuingat, waktu itu aku pulang pagi-pagi sekali sehabis mendapat giliran jaga malam sebagai satpam. Aku mengantuk sekali dan ingin tidur. Namun, begitu sampai kamar, si Manis tertidur pulas di sana. Aku pun terpaksa tidur di kamar yang lain yang belum ada ranjangnya. Saat itulah, aku mulai merasa sedikit terganggu.
Suara guntur dan kilat membuyarkan lamunanku. Terdengar hujan deras mulai berjatuhan. Tubuhku makin menggigil. Kutarik selimut, semakin rapat menyelimuti tubuhku. Aku melirik lagi ke arah foto itu. Tidak! Tidak mungkin! Aku melihat mata kucing itu seperti berkedip. Secara refleks aku pejamkan mata. Aku berusaha meyakinkan diri bahwa itu hanyalah halusinasi. Namun, rasa penasaranku membuncah. Perlahan aku menoleh ke foto itu lagi, tetap dengan mata tertutup. Kemudian dengan perlahan pula kubuka mataku. Sial! Mata itu berkedip lagi. Segera kusembunyikan kepalaku di balik selimut. Tiba-tiba terkenang kembali kisah-kisah yang terjadi bersama kucing hitam itu.
Waktu itu adalah bulan kedua pernikahan kami. Aku baru pulang kerja sore hari. Tubuhku penat dan kepala agak pusing. Aku minta istriku untuk membuatkanku kopi. Dia menyanggupi, tapi dia minta aku menunggu. Lima menit, sepuluh menit, aku menunggu. Tak ada suara air mendidih. Aku tengok apa yang tengah dilakukan istriku. Ternyata dia sedang mengeringkan bulu-bulu si Manis sehabis dimandikan menggunakan alat pengering rambut. Aku pun berinisiatif ke dapur dan memasak air sendiri. Mendengar aku menyalakan kompor, terdengar istriku berteriak.
“Nanti kalau sudah mendidih, biar aku yang buat kopinya.”
Ketika aku kembali ke ruang depan, sekilas kulihat istriku membelai si Manis dengan lembut, menyisiri bulu-bulunya, lalu memasukkannya ke kandangnya. Aku duduk di kursi ruang tamu dengan agak kesal. Bahkan ketika akhirnya kopi disuguhkan oleh istriku, rasa kesal itu belum sepenuhnya hilang.
Kejadian serupa berulang lagi seminggu kemudian. Dari hari ke hari, kejadian-kejadian semacam itu semakin sering terjadi. Itu belum seberapa. Hal yang benar-benar membuatku iri atau cemburu adalah apa yang terjadi pada suatu malam di bulan ketujuh pernikahan kami. Saat itu aku pulang malam, sekitar jam setengah sepuluh. Aku buka pintu rumah dengan kunci duplikat yang kubawa. Kuintip di kamar tidur, istriku sudah tertidur pulas. Setelah berganti pakaian dengan sarung dan kaus oblong, aku tuangkan STMJ yang aku beli dekat tempat kerjaku. Aku nikmati teguk demi teguk hingga tandas. Aku tersenyum. Aku ingin servis istriku malam ini. Aku yakin dia pasti sudah cukup bugar dan siap melayaniku setelah tidur barang satu dua jam. Aku pun berjingkat ke kamar tidur. Aku naik ke atas ranjang perlahan. Aku tarik selimut yang menutupi istriku. Aku selimutkan sebagian ke tubuhku hingga kami menyatu dalam satu selimut. Aku elus-elus rambut istriku yang tidur miring ke kanan. Kuciumi rambut itu. Kepalanya bergerak-gerak. Agaknya dia mulai terjaga. Aku semakin merapatkan tubuhku. Kuselipkan tanganku di balik bajunya. Beberapa saat kemudian, dia menoleh sedikit ke arahku. Aku mengerling memberi tanda.
“Tidak. Jangan sekarang. Nanti ya,” bisiknya.
Aku mengernyitkan dahi, mempertanyakan sebabnya. Lalu disingkapnya selimut. Kulihat si Manis, kucing hitam itu, tidur nyenyak dalam dekapannya. Kutarik tanganku, lalu aku tidur telentang. Kuembuskan napasku kuat-kuat.
“Maaf,” katanya dengan wajah memelas.
Aku hanya tersenyum kecut. Setengah kupaksakan. Aku tahu, yang dia maksud nanti adalah satu, dua, atau bahkan tiga hari lagi. Kupejamkan mata, tapi aku tak tidur. Hanya pura-pura. Tak berapa lama, istriku pun kembali lelap dalam tidurnya. Aku masih belum bisa tidur dalam waktu yang cukup lama. Mungkin sekitar satu jam kemudian. Itulah untuk pertama kalinya aku rasakan iri, cemburu, benci, atau apa pun namanya pada kucing itu.
Kejadian serupa berulang lagi sekitar sepuluh hari kemudian. Semakin hari frekuensinya semakin sering. Bahkan menjadi semacam rutinitas. Seminggu sekali, bahkan dua kali dalam seminggu. Aku berusaha mengajak istriku membicarakan hal ini, tapi dia hanya tertawa dan berusaha menghindar. Katanya ini masalah sepele, dan toh aku bisa bersabar barang sehari dua hari. Aku mencoba terus bersabar, tapi lama-lama akhirnya tak tahan juga.
Tekadku sudah bulat. Aku mengambil keputusan untuk menyingkirkan kucing itu, atau lebih tepatnya mengakhiri hidupnya. Maka aku siapkan sebuah skenario agar istriku tak curiga. Minggu, sesudah Subuh, aku pergi lari pagi seperti biasa. Bedanya kali ini aku mengajak si Manis ikut serta. Istriku tidak akan curiga sebab sesekali kami bertiga memang pergi jalan-jalan atau lari pagi bersama. Kali ini aku bujuk istriku agar tidak ikut karena ia tengah agak tidak enak badan. Hal lain yang berbeda kali ini adalah, kami akan mengambil rute yang berbeda. Rute yang akan mengakhiri hidup si kucing hitam keparat itu.
Aku pegangi tali yang mengikat leher si Manis. Aku giring dia berlari bersamaku menuju taman. Aku sengaja memotong ke sebuah jalan yang agak ramai oleh kendaraan di pagi hari. Aku tunggu momen yang tepat sampai akhirnya saat itu pun tiba. Ketika hendak menyeberang aku lihat sebuah mobil boks dan beberapa sepeda motor melaju dengan kecepatan stabil. Sampai di jarak yang agak dekat aku sengaja berlari menyeberang sambil kulepaskan tali kekang kucing itu tepat di tengah jalan. Terdengar suara mobil yang direm mendadak dan jeritan kucing. Aku terus berlari, tak menghiraukan suara-suara itu. Setelah sampai jarak yang lumayan jauh, aku berhenti, memilih berbelok menuju sebuah warung kopi di pinggir jalan. Aku memesan kopi dan menikmati setiap sesapannya demi menenangkan diriku.
Perasaanku campur aduk. Ada rasa lega dan puas, tetapi juga terbesit rasa bersalah. Untunglah kafein mulai bekerja dalam diriku dan membantuku menenangkan diri. Dari percakapan para pengunjung warung yang datang setelahku, aku bisa memastikan bahwa si Manis sudah mati dan dikubur oleh orang-orang. Aku tersenyum dalam hati karena rencanaku berjalan sempurna. Aku bisa menceritakan kepada istriku bahwa semua ini kecelakaan.
Aku mendengar dari orang-orang bahwa sopir yang menabrak kucing hitam itu terlihat amat shock dan merutuki kesialan dirinya. Ternyata masih saja ada orang yang memercayai mitos semacam itu.
Aku membayar kopiku dan pulang. Dalam perjalanan pulang, aku sempatkan menengok tempat kucing itu dikuburkan. Tempatnya di balik pohon yang tumbuh di pinggir trotoar. Tanahnya tidak lebar memang, tapi cukup untuk menguburkan binatang malang itu. Aku melihatnya sepintas saja: gundukan tanah yang ditandai dengan batang kayu.
Beberapa meter sebelum sampai rumah, aku mulai memasang wajah iba dan memelas. Begitu kubuka pintu depan, aku lihat istriku tengah duduk dengan pandangan menerawang. Mungkin dia sudah punya firasat soal kabar buruk yang akan diterimanya, atau bahkan mungkin dia sudah mendengar beritanya. Selama beberapa detik aku ragu. Namun, akhirnya kuceritakan juga yang telah terjadi. Tentunya sesuai versiku, yaitu bahwa tali kekang si Manis terlepas kemudian ia lari ke jalan dan tertabrak mobil. Istriku menatapku dengan saksama selama aku bercerita. Wajahnya nyaris tanpa ekspresi. Begitu aku selesai bercerita, dia menatapku beberapa detik. Tatapan itu terasa agak janggal dan membuatku rikuh. Kemudian dia membuang pandangannya, menerawang ke balik pintu dan jendela. Dia tak berkata sepatah kata pun. Aku tak tahu harus berbuat apa. Maka aku putuskan untuk menunggu saja. Baru setelah saling diam agak lama, aku dengar juga suaranya.
“Orang-orang sudah menguburnya, bukan?”
“I… i…ya,” jawabku terbata-bata.
Pandangan mata istriku kembali menerawang. Aku jadi salah tingkah. Aku jadi curiga jangan-jangan istriku sudah tahu apa yang kulakukan.
Sejak saat itu istriku berubah menjadi pemurung. Bukan, bukan hanya pemurung, tetapi juga malas merawat diri dan nafsu makannya amat berkurang. Aku sudah berusaha membujuknya dengan berbagai cara, tapi tidak juga berhasil. Bahkan ketika aku menawarinya mencarikan kucing baru, dia menolaknya. “Aku tidak apa-apa,” begitu katanya.
Dari hari ke hari kondisi tubuh istriku makin kurus dan melemah. Keceriaan dan semangat hidupnya seolah telah pudar. Aku jadi merasa bersalah. Maka aku pun berusaha untuk selalu menyenangkan hatinya. Puncaknya terjadi empat puluh hari setelah kematian si Manis. Istriku jatuh sakit dan harus dilarikan ke rumah sakit. Dia terpaksa harus menjalani rawat inap karena kondisinya sangat lemah dan harus dibantu dengan infus. Aku dan beberapa kerabat bergantian menjaga istriku. Untuk memastikan kondisi istriku, dokter meminta dilakukan cek laboratorium. Hasil pemeriksaan lab menunjukkan kalau secara umum istriku masih dalam batas normal. Ketika aku tanyakan pada dokter, dia hanya bilang istriku cuma perlu dipulihkan semangat hidup dan nafsu makannya. Dukungan keluarga agaknya merupakan faktor terpenting bagi kesembuhannya. Maka kami, keluarga besar istriku dan keluargaku, berusaha terus memberikan dukungan.
Tampaknya usaha kami tak sia-sia. Dari hari ke hari kondisi istriku makin membaik. Dia sudah mau makan ransum rumah sakit dan sesekali mau makan atau minum bekal yang kami bawakan. Pada hari kesepuluh rawat inap, wajah istriku kelihatan bugar dan ceria lagi. Bahkan dia mau aku suapi nasi pecel kesukaannya. Dia juga bisa berjalan-jalan sedikit meski harus aku tuntun. Sore itu bahkan dia minta diantar ke kamar mandi. Untuk buang air kecil dan berwudu katanya. Sesudah berwudu dia kembali ke ranjang untuk salat dengan berbaring. Sebelum salat dia tersenyum manis sekali kepadaku. Setelah salat, tampak mulutnya komat-kamit sebentar dengan mata tertutup. Aku yakin dia sedang berdoa. Namun, setelah aku tunggu selama sepuluh menit, dia belum juga membuka mata. Lima belas menit belum juga membuka mata. Aku jadi mulai merasa khawatir. Dia tidak pernah berdoa begitu lama. Maka setelah setengah jam tidak juga membuka mata, aku guncang-guncangkan tubuhnya. Dia diam saja. Dalam kepanikan aku pencet tombol pemanggil perawat. Perawat datang dan memeriksa. Kemudian perawat itu menghubungi dokter jaga. Setelah memeriksa detak jantung dan nadi istriku, dokter jaga itu memastikan bahwa istriku sudah tiada, pergi untuk selamanya. Aku ingat betul hari itu. Hari Kamis Kliwon selepas Asar. Tiba-tiba aku juga teringat tatapan mata istriku ketika tersenyum manis sebelum salat. Ya, mata itu mirip sekali. Sangat mirip dengan mata kucing yang kubunuh!
Aku benar-benar terguncang. Sejak saat itu aku merasa seolah wajah istriku dan mata kucing itu ada di mana-mana. Mengintaiku setiap saat. Di tempat kerja. Di jalanan dan gang-gang yang aku susuri. Bahkan di rumahku sendiri. Di dalam kamar tidur, bahkan kamar mandi sekalipun. Aku jadi sering terjaga di malam hari. Rata-rata karena mimpi buruk ada seekor kucing hitam raksasa yang hendak menelan dan mencabik-cabik diriku. Kondisiku semakin parah ketika suatu hari di gang menuju rumahku ada seekor kucing hitam yang mirip sekali dengan kucing yang aku bunuh. Aku berusaha tak memedulikannya, tapi pandangan kucing itu selalu mengikutiku ketika aku lewat. Selang beberapa hari kemudian, secara tak sengaja aku beradu pandang dengan kucing itu. Astaga! Aku sungguh terkejut: mata kucing itu persis sama dengan mata si Manis yang sudah tewas akibat ulahku. Aku pun bergegas pulang. Aku bergidik. Badanku panas dingin. Aku tidak percaya ini. Jangan-jangan si Manis belum benar-benar mati, atau hidup lagi? Dari hari ke hari rasa takut itu semakin menghantuiku.
Suara benda terjatuh di dapur membuyarkan perjalananku menyusuri ingatan masa lalu tentang istriku dan kucing itu. Perlahan aku mencoba memberanikan diri menoleh ke arah foto itu lagi. Foto itu menghilang. Yang ada ialah dua mata kucing raksasa. Kemudian muncul misai dan mulut kucing raksasa. Aku ketakutan sekali. Mulut kucing raksasa itu menganga, memperlihatkan taringnya, siap menerkamku. Makin lama makin mendekat. Keringat dingin mulai membasahi pipiku. Aku pejamkan mataku lalu berteriak sekeras-kerasnya. Setelah itu aku tak tahu apa yang terjadi.
***
Kubuka mataku perlahan. Rupanya aku telah pingsan entah untuk berapa lama. Setelah aku kembali memperoleh kesadaranku, aku amati sekeliling. Rasanya ada yang aneh. Ah, ini bukan rumahku. Aku amati tembok sekelilingku yang berwarna putih semua. Juga ranjang yang aku tempati. Aku yakin seyakin-yakinnya kalau ini bukan rumahku. Apakah aku sudah mati? Ah, tidak, tidak. Mungkin ini sebuah rumah sakit. Kalau aku amati lebih cermat, ini memang bangsal rumah sakit. Namun, bagaimana mungkin aku bisa berada di rumah sakit. Sejauh yang bisa kuingat, terakhir kali aku berada di dalam rumahku sendiri. Jangan-jangan aku memang sudah mati. Pikiran-pikiran itu terus berkecamuk dalam kepalaku sampai akhirnya datang seorang perempuan berpakaian perawat. Dia datang hendak memeriksa tekanan darahku.
“Suster, apakah ini rumah sakit?” tanyaku ketika si perawat mulai memasang alat pengukur tekanan darah.
“Benar, Pak,” katanya sambil mulai mengukur tekanan darahku.
“Normal, Pak,” katanya kemudian.
“Bagaimana saya bisa ada di sini?”
“Keluarga Bapak yang membawa ke sini. Kata mereka, Bapak tak sadarkan diri setelah berteriak-teriak ketakutan di dalam kamar.”
“Di mana mereka sekarang?”
“Menunggu di luar karena Bapak mau diperiksa.” Perawat itu memberesi alatnya.
“Menurut Suster, saya ini kenapa?”
“Tidak apa-apa. Bapak hanya berhalusinasi saja. Itu sudah biasa. Biasanya dokter nanti akan memberi obat penenang.” Setelahnya, suster itu kemudian pamit pergi untuk melanjutkan pekerjaannya.
Halusinasi? Ah, yang benar saja. Coba kalau dia mengalaminya sendiri, pasti tidak akan bilang begitu. Eit, tapi tunggu dulu. Mungkin dia ada benarnya juga. Di sini aku tidak lagi melihat mata kucing itu. Aku amati sekali lagi sekelilingku. Aku lihat tembok, meja, ranjangku, pintu, dan juga jam dinding. Jam menunjukkan pukul delapan. Ini pasti malam hari karena lampu-lampu dinyalakan semua. Aku mencoba mengingat siapa yang membawaku kemari dan kapan. Tak ada satu pun yang bisa kuingat. Aku menghirup udara kuat-kuat lalu kuembuskan lagi dengan kuat lewat hidung. Aku merasa lega sekarang. Setidaknya di sini aku tak lagi dihantui oleh bayangan istriku atau mata kucing hitam yang terus mengintai itu. Kuyakinkan lagi dengan menebar pandangan ke sekeliling. Ya, tidak ada bayangan mata itu. Tidak ada.
Tak lama kudengar derap sepatu di luar. Pasti itu dokter yang hendak memeriksaku. Dari suara derap sepatunya, aku yakin itu seorang dokter perempuan. Aku semakin yakin ketika lamat-lamat kudengar suaranya yang sedang berbincang dengan perawat. Langkah-langkah itu terdengar semakin dekat menuju ruanganku. Walaupun aku tak tahu persis apa yang dia bicarakan, dari suaranya aku seperti sudah mengenalnya. Mungkinkah dia salah seorang kawan sekolah yang sekarang menjadi dokter? Namun, sebelum sempat aku menebak-nebak suara siapa itu, dokter perempuan itu sudah masuk ke ruanganku. Betapa terkejutnya aku ketika kulihat dokter itu mirip sekali dengan almarhumah istriku. Aku amati terus dengan saksama ketika dia makin mendekat dan mulai memeriksaku. Aku tidak mendengar apa yang dia katakan karena aku berkonsentrasi mengamatinya. Benar, dia persis sama seperti istriku, terutama matanya. Ya, matanya, yang juga sama dengan mata si Manis, kucing hitam pembawa sial. Dokter itu mengambil alat suntik, hendak menyuntikku.
Aku tercekat, tidak bisa mengucapkan apa-apa. Bukan, bukan karena dokter itu, melainkan ada sesuatu yang kulihat di belakangnya. Dengan jelas aku bisa melihat seekor kucing hitam raksasa yang tingginya hampir setinggi dokter itu sedang menatap tajam ke arahku. Mulutnya menyeringai seolah siap menyantapku. Kucing itu semakin mendekat. Pandangan matanya seolah mengisyaratkan kalau dia ingin melumatku hidup-hidup. Sekarang kami nyaris tak berjarak. Aku bangkit. Aku berusaha berontak. Dokter memegangi tanganku. Bahkan seorang perawat juga ikut membantu memegangiku.
“Tenang dulu, Pak,” kata suara yang mirip suara istriku.
Aku berusaha menenangkan diriku, tapi tak bisa. Mata kucing raksasa itu serasa menghunjam jantungku. Mulutnya terbuka lebar siap melahap dan mencabik-cabik tubuhku. Keringat dingin kembali membasahi wajahku.
“Jangan, jangan bunuh aku!” teriakku keras dan berulang-ulang.
Sesudah itu hanya ada hitam. Hitam dan gelap. Lebih gelap dari bulu-bulu hitam si Manis, kucing hitam yang aku akhiri hidupnya hanya karena rasa iri.[]
Malang, Juni 2018
Trackback/Pingback