Sejak anaknya memutuskan merantau ke kota, Mastini seorang diri mendiami rumah tuanya. Menjalani malam panjang bersama kesepian yang menjelma lintah yang beranak-pinak dan mencokol dalam dadanya.
“Apa salahnya merantau? Kalau bertahan di sini, apa sampean mau menjamin kebutuhan saya?” tanya anaknya di suatu malam yang gerimis.
“Apa kamu tega meninggalkan ibu sendirian?” Mastini berucap dengan nada lirih usai mengatur laju napasnya yang berat. Beberapa lembar daun siwalan yang tergeletak di atas tanah perlahan kembali ia pungut, kemudian diselipkan pada beberapa helai yang lain—menganyamnya menjadi sebuah tikar.
“Bukan masalah itu, Bu,” anaknya berkilah. Pandangannya jauh ke depan mencari jawaban untuk memberi kepastian bahwa satu-satunya jalan agar terlepas dari kekangan kemiskinan adalah merantau.
Sebenarnya, sejak beberapa bulan terakhir Maskur sangat ingin mengadu nasib ke kota seperti teman-temannya yang lain. Apalagi setelah melihat Sukam pulang dari Jakarta dengan mengendarai sebuah mobil membuat dirinya semakin gelisah. Sangat ingin ia seperti Sukam mengendarai mobil mewah dan berhenti menggarap sawah.
Ia merasa menyesal ketika dua tahun yang lalu saat teman karibnya itu mengajak bekerja ke luar kota ia tolak. Maskur menolak dengan alasan masih betah berada di kampung halaman, sekalipun hanya menjadi petani. Waktu itu ia berkata bahwasanya salah satu pemuda di kampungnya harus ada yang menetap—belajar melestarikan lingkungan dan bercocok tanam.
Akan tetapi keteguhan hati Maskur tak sekuat karang di lautan. Berselang tujuh belas bulan kemudian hatinya goyah oleh keadaan. Apalagi setelah melihat keberhasilan Sukam sehabis merantau sukses membangun rumah dan membeli kendaraan membuat lelaki itu dihantui kebimbangan.
“Di sini masih ada sawah. Bisalah kau garap sawah itu untuk kebutuhan hidup sehari-hari,” Mastini berucap dengan nada lirih sambil meraih tangan anaknya yang dingin.
“Puah. Sawah sepetak itu tak menjamin kita kaya,” jawabnya dengan nada ditekan sambil melepas genggaman tangan sang ibu yang keriput.
Mendengar itu Mastini perlahan mencoba menyakinkan akan ucapan anaknya sewaktu diajak merantau oleh Sukam dan ia memilih berdiam di kampung halaman menjadi seorang petani. Kala itu Mastini merasa bangga dengan pilihan sang anak yang memilih menetap di kampung halaman. Kesepakatan Mastini bukan tanpa alasan, melainkan ia percaya bahwa untuk memenuhi kebutuhan hidup bisa dicapai tanpa harus menjadi perantau di kota.
Namun, kata-kata sang ibu dipatahkan oleh Maskur bahwa keinginan besar sulit dicapai jikalau hanya mengandalkan hasil garapan sawah. Apalagi kegagalan panen jagung dan padi kemarin membuat Mastini menekur wajahnya ketika sang anak mengungkit kesusahan berbulan-bulan kala itu.
Setelah berdebat semalaman, dengan berat hati Mastini mengikhlaskan kepergian Maskur. Satu-satunya keluarga dalam rumah itu akan pergi menyusul pemuda kampung lainnya mengadu nasib ke kota.
Barang-barang yang dikemas semalam telah terangkup dalam sebuah kardus dan ditentengnya di tangan kiri di tengah kesibukan memberi kepastian lewat telepon pada seorang calo yang mengajaknya ke kota. Kini ia telah melangkahkan kaki. Menjauh. Semakin jauh, hingga ia benar-benar hilang dalam pandangannya.
Ia tak pernah tahu kapan Maskur akan kembali. Sewaktu pamitan pun anaknya tak memberi kepastian berapa lama ia akan berada di kota. Selama menjadi seorang ibu, Mastini tak pernah membayangkan kesepian seperti apa yang akan menemani hari tuanya. Sejak jauh-jauh hari inilah yang paling ditakutkan oleh perempuan berusia senja itu, berpisah dengan anak semata wayangnya.
“Cepatlah kembali, Nak,” Itulah kata terakhir yang keluar dari mulut Mastini. Namun, Maskur tak menjawab dan tak menoleh pada wajah pasi perempuan tua di dekat pintu yang berdiri dengan kaki gemetar.
***
Jauh dalam lubuk hati Mastini, ia tak pernah menginginkan anaknya pergi dari rumah. Jika diberi pilihan, Mastini lebih suka hidup dalam kesederhanaan dibandingkan harus berjauhan dengan sang anak meski rutin dikirimi uang.
Di tahun ketiga kepergian Maskur, anak semata wayangnya itu tak pernah kembali. Mastini tak pernah tahu seperti apa anaknya sekarang, di mana dia tinggal, dan kesibukan apa yang menyita waktunya hingga tak kunjung kembali.
Meski tak tahu pasti, tapi ada kabar bahwa saat ini dia tengah diangkat menjadi kepala mandor dan sibuk mengawasi setiap pekerjaan dalam proyek. Tak hanya naik jabatan, menjelang petang—saat Mastini hendak memasukkan kambing ke kandang, Sukam memberi tahu bahwa saat ini Maskur juga telah memiliki rumah di kota. Mengetahui hal itu jelas raut kebahagian tergambar di antara lekuk keriput pipinya. Tak lama kemudian kebagian itu terempas karena bulir air mata kerinduan pada anak semata wayangnya yang tumpah.
“Kapan kamu akan pulang, Nak?” tanya Mastini sambil menampa handphone milik Sukam. Mastini bergeming menunggu jawaban anaknya.
“Sudah dulu, Bu. Saya lagi sibuk.”
Beberapa detik kemudian saluran telepon dari anaknya terputus. Meski tak dapat jawaban hal itu sudah membuat Mastini senang karena sejak hari pertama Maskur merantau ia tidak pernah mendengar suara anaknya walau hanya lewat seluler.
Dulu sewaktu Maskur masih kanak-kanak, ia sangat mengimpikan anak satu-satunya itu bisa menggantikan suaminya menggarap sawah, memetik kelapa, dan belanja ke pasar jikalau persediaan kebutuhan mulai menipis. Akan tetapi, segumpal harapan di dada Mastini harus lenyap tatkala kedatangan calo merenggut anak semata wayangnya dengan sebuah pekerjaan di kota. Tak hanya Maskur seorang, beberapa pemuda kala itu juga sama-sama meninggalkan desa usai menerima tawaran pekerjaan dari sang calo.
Sejak beberapa tahun terakhir Desa Bannaju tempat Mastini bermukim mendadak sepi. Rumah-rumah besar dan megah dibangun di tengah kesenyapan. Pagar-pagar beton bersusun kerangka besi menjelma dinding yang menyekat tutur sapa antara warga yang satu dengan yang lainnya. Keadaan itu semakin diperparah dengan kealpaan orang-orang kampung yang hanya pada waktu tertentu mereka kembali dari perantauan.
Setiap saat tempurung kepala Mastini terasa sangat nyeri jikalau teringat pada Maskur. Hal-hal buruk seakan selalu berdenyut merongrong kesehatannya yang semakin rapuh. Apalagi sejak kematian Suwakib di tanah rantau sebulan yang lalu semakin membuat kegetiran di dadanya tak keruan. Ia ingat betul, saat itu tangis Haji Durahman pecah di tengah kerumunan orang-orang yang sibuk menurunkan anaknya dari atas ambulance.
“Apa gunanya bangun rumah megah kalau ujung-ujungnya ditinggal mati,” desis seorang warga di tengah kerumunan orang-orang yang pulang-pergi dari rumah Haji Durahman.
“Iya, kasihan sekali. Bertahun-tahun merantau untuk membangun rumah, tapi sekali rumahnya jadi orangnya malah mati,” sergah warga yang lain menimpali peristiwa nahas yang menimpa Haji Durahman.
Itulah hal terburuk yang sering bersarang dalam kepala Mastini. Perempuan berusia kepala lima itu merasa was-was jika nantinya akan bernasib seperti Haji Durahman. Sejak kematian anaknya, Haji Durahman jarang keluar rumah. Ia juga beberapa kali tidak terlihat pada kumpulan, serta jarang hadir pada selamatan warga yang biasa mengundang dirinya memimpin tahlilan dan doa.
Seorang diri Mastini mendiami rumah tuanya bersama foto usang Maskur sewaktu masih kecil. Ia biarkan kesepian yang menyekapnya beranak-pinak menjelma lintah. Mencokol kerinduan dalam dadanya dan menyesap darahnya hingga ia semakin kurus dan kering.
Dan malam itu, di malam yang sedikit bergerimis ia harus menyerah pada lintah kerinduan. Semakin Mastini merindukan anaknya, lintah dalam dadanya semakin lahap menyesap darahnya.
“Pulanglah, Nak,” pintanya dalam kegetiran doa yang dijawab derit engsel pintu. Beberapa detik kemudian ia merasa dingin dan pandangannya semakin kabur melihat bumi dari kejauhan. (*)
Jl. Makam Pahlawan Sumenep, 2022-2023
*) Image by istockphoto.com
Terus berkarya, Bung.
cerita menarik aku suka banget