KURUNGBUKA.com – (04/03/2024) Sastra dimulai di tempat tidur. Mengapa bukan di sekolah? Kita membayangkan anak-anak mulai terpikat cerita saat berada di kelas. Pelajaran-pelajaran pun diberikan oleh guru. Namun, yang terjadi adalah permulaan di rumah, khususnya di tempat tidur.

Bocah mendapatkan cerita dari ibunya menjelang tidur. Peristiwa yang sederhana tapi membekas bagi bocah, yang memutuskan menjadi pencerita saat dewasa. “Tanpa keberatan sedikit pun, ia senantiasa menyediakan waktunya, kalau kami meminta bercerita sebelum tidur,” pengakuan Sori Siregar (1983). Tempat dan waktu berkaitan tidur justru mengawali kegemaran sastra.

Bocah yang terpikat cerita, setelah bersekolah membutuhkan buku-buku. Ia melanjutkan menikmati tulisan-tulisan. Bentuk yang berbeda dibandingkan pengalaman bersama ibu. Bocah menikmati cerita dengan membaca halaman demi halaman, mengurangi kemanjaan seperti dulu saat mata mau terpejam.

Sori Siregar mengetahui buku-buku cerita berada di tempat yang dinamakan perpustakaan. Di sanalah, ia makin mengetahui dan menggemari cerita-cerita. Di sekolah, yang diperolehnya buku-buku pelajaran. Yang membuatnya bergembira adalah buku-buku cerita.

Ia bertumbuh menjadi remaja. Akhirnya, keinginan menulis cerita diwujudkan. Di Medan, ia berhasil menulis cerita-cerita, yang dimuat di beberapa majalah.

Masa yang berbeda: “Tetapi untuk apa sebenarnya saya menulis? Untuk beberapa lama saya sendiri tidak tahu. Mungkin sekadar senang atau ingin terkenal atau untuk cari duit. Saya benar-benar tidak tahu. Sungguh. Dari ketiganya, yang paling mungkin hanyalah sekadar senang.”

Ia yang menyadari pengaruh dongeng di tempat tidur dan buku-buku di perpustakaan. Jadilah ia pencerita.

(Pamusuk Eneste (editor), 1984, Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang II, Gramedia)

Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya terbaik penulis di Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<