KURUNGBUKA.com – (14/02/2024) Pada suatu masa, sastra di Indonesia didakwa berselera kota. Ada pihak-pihak yang menyatakan munculnya “sastra urban”. Tema dan selera kota terus membesar. Yang paling kentara setelah Perang Dunia II. Namun, yang menulis alam tidak bisa tersingkirkan.
Sastra di Indonesia, sastra yang bertumbuh dalam pengakraban alam dan “nafsu” kota. Kita tidak menemukan penjelasan-penjelasan yang seutuhnya tapi mengetahui kemunculan para pengarang yang memihak. Pada abad XXI, kita belum jemu memasalahkan sastra dan alam saat kota-kota makin ruwet.
“Sejak dulu sampai dengan sekarang (1996), saya banyak menulis puisi yang berkaitan alam dengan berbagai macam isinya, dan tidak sedikit yang bernapaskan ketuhanan,” penjelasan Piek Ardijanto Soeprijadi. Yang setia menulis alam. Ia mengetahui babak-babak perkembangan sastra di Indonesia tapi alam tak mungkin ditinggalkan.
Tulisan-tulisan dimuat di majalah-majalah terbit di kota-kota. Yang disampaikannya alam. Ia yang bertahan, yang mengingatkan alam bertumbuh tapi terluka oleh ulah dan salah manusia, dari masa ke masa. Sastra yang ditulis adalah penyadaran, termasuk panggilan ke masa silam.
Penyebab ia selalu menulis alam: “… pengalaman yang sangat membekas di ingatan pada masa kanak-kanak sampai dengan tamat sekolah dasar selama tinggal di Magetan, Ponorogo, dan Ngawi.” Episode yang terpenting dan menentukan, sebelum ia mengerti bakal menjadi penulis.
Dulu, ia insaf saat sering diajak bapak menikmati alam dan menyaksikan kehidupan di desa. Ia melanjutkannya dengan tulisan-tulisan, tak jemu-jemu berseru alam.
(Pamusuk Eneste (editor), 2009, Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang Jilid 4, Kepustakaan Populer Gramedia)
Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya terbaik penulis di Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<