Ini kisah tentang anjing yang sedikit pemberani. Anjing itu kurus, kecil, dekil, dan acap kali mencari makanan sisa di tempat pembuangan sampah. Ia hidup sebatang kara, tak memiliki tuan, kawan, bahkan anjing betina pun enggan mendekati, apalagi dibuahi.
Meski ia seekor anjing yang bergelut dengan sepi, ia memiliki cita-cita tinggi, yakni membela kebenaran, menjunjung keadilan, dan membasmi penjahat di muka bumi ini. Goblok! salak seekor anjing, mencibir. Anjing tetaplah anjing, cita-cita itu terlalu tinggi untuk seekor anjing, sahut anjing-anjing lain mentertawakan.
Tekad si anjing sungguh bagai batu yang sukar dipalu-godamkan. Kendati banyak anjing lain meremeh-temehkan, ia tetap di satu jalan, yakni jalan kebenaran. Meskipun banyak manusia memandang anjing itu sebelah mata dan hina dina, ia tetap teguh pantang mundur meski selangkah.
Ialah anjing yang sedikit pemberani. Ia kerap ditendang kala memiliki niatan baik membantu nenek renta menyeberang jalan. Ia diusir, dicaci maki, bahkan sering kali akan dibunuh, tatkala ia ingin membantu para manusia, maupun sesama anjing. Kendati banyak cobaan, pantang ia patah arang.
Seperti sekarang, ia menggonggong keras pada calon politikus yang sedang berkampanye. Ia tak sengaja mendengar pembicaraan para awak politikus yang akan melakukan aksi menipu rakyat. Sebenarnya, para awak politikus itu telah melihat seekor anjing sedang mengamati. Namun, siapa juga yang peduli pada seekor anjing.
Calon politikus itu berorasi di kerumunan rakyat. Dengan setelan baju putih, jas hitam, dan dasi merah, ia bergelora mengeluarkan janji-janji palsu tiada henti. Rakyat pun menyoraki dan menyemangati, seolah calon politikus itu adalah Tuhan yang dapat mengubah nasibnya.
Kala itu pula si anjing berjalan gagah menghampiri. Rakyat merasa risi akan kedatangan si anjing. Namun, si anjing dengan percaya diri menganggap suatu saat nanti mereka akan berterima kasih atas keberaniannya.
Si anjing bernasib malang menatap lekat-lekat musuhnya itu. Begitu pula dengan si calon politikus, tak mau kalah, balas menatap si anjing. Tak lagi membuang waktu, si anjing menggonggong lantang ke arah calon politikus itu. Ia menggonggong, dan sesekali menderam, seolah mengusir sang calon politikus. Perihal itu menciptakan sejumlah pertanyaan, seperti: Ada apa sebenarnya? Kenapa tetiba seekor anjing menggonggong ke arah calon politikus itu? Atau, apakah si anjing ingin mengatakan sesuatu? Pertanyaan-pertanyaan itu berseliweran di masing-masing tempurung kepala rakyat.
Lama-lama calon politikus itu pun merasa terancam. Dengan kode tangan, ia memerintahkan badan intelijen yang mahal-mahal ia sewa untuk menghabisi anjing itu. Kini giliran si anjing yang merasa terancam. Melihat orang-orang itu mengangkat senjata laras panjangnya, si anjing pun menghentikan gonggongannya.
Nyali si anjing seketika ciut, pelan-pelan ia berjalan mundur, lantas lari sekencang mungkin. Ia tak mau mati sia-sia sebagai anjing yang masih kurus, kecil, dan dekil. Ketahuilah, sebelum ia membela kebenaran, menjunjung keadilan, dan membasmi para penjahat, ia tak boleh mati.
Badan intelijen itu tak mau kalah pada seekor anjing. Mereka mengejar si anjing tak mengenal henti untuk dicincang tubuhnya. Sesekali terdengar suara letusan peluru. Peluru itu memang tak mengenai si anjing, tetapi membuat gidik genderang telinganya. Bila ia tak lari lebih kencang lagi, matilah ia ditembus peluru-peluru berdosa.
Si anjing melejit ke arah gorong-gorong. Ia bersembunyi di sana, meringkuk ketakutan.
Sepertinya Tuhan mengelabui pandangan badan intelijen itu. Kendati matanya menyerupai nasar dan mengerling ke segala penjuru, masih belum tampak anjing yang mereka kejar. Anjing itu lenyap begitu saja dalam pandangan matanya, seperti penyilap menghirapkan kelinci dari balik topi tabungnya.
Mereka pun menyerah, sebuah kata yang sebenarnya pantangan untuk badan intelijen segagah mereka. Namun, apalah daya, mereka tak mau menghabiskan sisa hidupnya untuk anjing kurus, kecil, dan dekil itu. Mereka pun kembali ke tempat semula, menipu si calon politikus dengan mengatakan mereka sudah membunuh anjing sialan itu.
Sementara itu, si anjing masih meringkuk kesepian di gorong-gorong.
***
Si anjing bernasib baik kala itu, sebab seorang lelaki telah menemukannya dan membawanya pulang. Sampai kini si anjing terheran-heran, mengapa lelaki itu memutuskan untuk memelihara anjing kurus, kecil, dan dekil sepertinya?
Entahlah, semua itu rahasia Tuhan, dan yang namanya rahasia tak kan pernah dibeberkan.
Si anjing senang memiliki tuan sepertinya. Lelaki itu serupa malaikat yang menyelamatkannya dari keterpurukan. Lelaki itu adalah malaikat bersayap, hanya saja sayapnya disembunyikan entah di mana. Kala lelaki itu dengan mantap ingin memelihara si anjing, si anjing senang bukan main. Ia menggonggong, meloncat-loncat, dan menjilati wajah si tuan.
Lelaki itu sungguh malaikat, pikir si anjing. Ia kerap memberi si anjing makanan enak, mengajak si anjing bermain-main, mengajarkan si anjing adab, bahkan memberi si anjing sebuah nama. Ia memberi nama Anjing pada si anjing. Sungguh nama yang memukau.
Namun, ada sedikit masalah bagi lelaki itu. Ia tak mengerti bahasa binatang, sebab ia bukan Raja Sulaiman yang dapat berbicara dengan binatang. Akan tetapi, ia tetap berusaha agar bisa bercakap-cakap dengan Anjing dan mengerti bahasanya. Dan, seperti yang kalian tebak, sebesar apa pun perjuangannya, ia tetap tak berhasil memahami bahasa anjing.
Akhirnya ia mengakali perihal itu. Sekarang ia bisa bercakap-cakap dengan Anjing. Ia mengajarkan dua kata yang harus dipahami oleh Anjing, yakni iya dan tidak. Anjing akan menggongong satu kali untuk jawaban “iya” dan dua kali gonggongan untuk jawaban “tidak”. Maka tak ada kekhawatiran lagi bagi lelaki itu untuk bisa bercengkerama dengan Anjing.
***
Lelaki itu adalah seorang penjahit ulung. Ia kerap menjahit apa saja, celana, baju, kaus, bahkan jas. Ia juga memiliki banyak pelanggan, dari rakyat biasa, rakyat menengah, bahkan orang-orang kelas atas. Menjahit adalah profesi yang ia bangga-banggakan.
Dengan adanya Anjing, pekerjaannya agak terbantu. Ia dapat menyuruh Anjing apa saja, dari mengambil pakaian pelanggan sampai mengantarkan pakaian pelanggan. Anjing layaknya seekor anjing, begitu penurut pada manusia, seolah keduanya memang ditakdirkan untuk bersama.
Namun, Anjing kadang juga malas bekerja, maka ia akan menggonggong dua kali untuk sebuah penolakan. Kalau sudah begitu, Si Penjahit akan memaklumi, karena Anjing bukanlah kuda yang harus rajin bekerja.
Suatu ketika ada seorang pamong praja mendatangi Si Penjahit. Berita angin yang membawanya ke sini. Ia membawa jas mahal kebanggaannya. Jas itu sobek, maka kepada ahlinya jas itu dipulihkan.
Si Penjahit menjahit jas itu dengan hati-hati dan telaten. Jas itu diutamakan dari jas-jas lain, seolah jas itu adalah permata langka yang harus dijaga dan dilindungi. Jas itu dijahit serapi mungkin, tak boleh ada cela, sebab jas itu milik orang besar jabatannya.
Keringat mengalir cukup deras, pertanda ketegangan dan kewaspadaan Si Penjahit. Bahkan, ia menjaga keringatnya agar tak jatuh pada jas yang sedang ia jahit. Jas ini milik orang besar, katanya lagi dan lagi, jas ini benar-benar harus dijahit dengan jahitan terbaik.
Puncaknya, Si Penjahit menghela napas lega. Ia menggantung jas hitam itu. Ia pergi sejenak untuk mencari angin, tetapi saat itu pula ia kecolongan. Anjing telah menjatuhkan jas itu dari gantungan. Ia juga mengencingi jas itu.
Namun, terpujilah Si Penjahit yang tak pernah marah. Ia malah mewawancarai Anjing layaknya mewawancarai manusia.
“Kenapa kau mengencingi jas ini? Kau tahu, jas ini milik siapa?!”
Anjing menggonggong satu kali.
“Lantas kenapa kau mengencinginya? Apakah kau merasa lebih berkuasa daripada pamong praja itu?” sembur Si Penjahit. Ia tahu, anjing akan kencing ke suatu tempat untuk menandai wilayah kekuasaannya.
Anjing menggonggong satu kali untuk jawaban berikutnya.
“Kamu anggap apa si pamong praja itu?”
Sebelum anjing kembali menjawab, seekor tikus seketika tergelincir dari atas atap mengenai tengkuk Si Penjahit. “Tikus!” umpat Si Penjahit.
Maka menggonggonglah kembali Anjing satu kali.[]