Aku baru tahu kalau kebun kecil di antara rumah keluarga Arfan Malaki dan keluarga Zainal Abidin adalah milikku. Dulu aku sering bermain di kebun kecil itu, manakala teman-teman sepantaranku tengah sibuk berjudi domino. Main domino sangat membosankan buatku; cuma menaruh kartu di atas kartu lawan main. Sementara di kebun kecil itu aku sering menemukan hal-hal yang mendebarkan. Misalnya, aku pernah menemukan sebuah majalah yang penuh gambar-gambar orang telanjang. Majalah itu kuselipkan di bawah batu-batu di antara batang-batang pisang agar bila aku datang kembali aku bisa melihatnya lagi.

     Aku juga suka melihat laba-laba besar yang membentangkan jaring-jaringnya di antara daun-daun pisang. Kadang ada serangga yang terperangkap jaring laba-laba. Serangga itu menggelepar berusaha lepas, tapi laba-laba dengan sigap menjeratnya dengan lebih kuat. Sering kubayangkan apa yang dipikirkan serangga itu menjelang saat-saat nyawanya melayang; baru saja ia terbang riang, merasakan sinar hangat matahari di sayap-sayapnya, melihat dunia terbentang terang benderang penuh dengan madu kehidupan. Lantas satu pilihan arah menghentikan semua, dan serangga itu berakhir dalam gulungan jaring pemangsa. 

     Kebun itu dikelilingi pagar kayu dan ditumbuhi pohon-pohon pisang. Warga sekitar kadang membuang sampah rumah tangga di sana. Namun, yang menyenangkanku adalah kenyataan bahwa kebun itu adalah kebun rahasia; kebun tempat rahasia-rahasia disembunyikan. Entah untuk diambil kembali atau untuk dilenyapkan, itu bukan soal, sebab sepertinya cuma aku yang tahu perihal rahasia-rahasia itu. Setidaknya itulah yang kusimpulkan. Majalah penuh gambar-gambar orang telanjang cuma satu di antaranya. Aku yakin pemilik majalah itu takut diketahui telah menyimpan bacaan tak senonoh, karena itu ia membuangnya. Selain itu, ada pula kutemukan lembar-lembar surat, jarum suntik, botol-botol minuman keras, dan uang palsu. Suatu hari aku bahkan menemukan selembar potret.

     Dulu kupikir kebun itu milik keluarga Arfan Malaki. Ia lebih tua, sekitar enam tahun, dariku. Kami jarang bermain bersama, sebab bukan kebiasaan anak-anak di lingkungan ini bermain dengan yang bukan sepantaran. Ayah dan ibu Arfan Malaki bekerja sebagai pegawai negeri. Rumahnya bagus meskipun kecil. Karena Arfan Malaki tak pernah kulihat bermain di kebun, aku jadi ragu kalau kebun itu milik keluarganya. Lantas aku berpikir kebun itu milik keluarga Zainal Abidin.

     Sama dengan Arfan Malaki, Zainal Abidin juga lebih tua dariku, karena itu aku juga jarang bermain bersamanya. Zainal punya adik perempuan yang sepantaran denganku, tapi aku juga tak pernah bermain dengannya. Meski begitu Arfan dan Zainal juga tak pernah kulihat bermain bersama; bukan lantaran mereka tak sepantaran, melainkan karena keluarga mereka bermusuhan. Apa pasal yang menyebabkan permusuhan itu, aku tak begitu tahu, meski pernah kudengar samar-samar cerita masa lalu menyangkut kedua keluarga itu. Apa yang kutahu adalah, berbeda dengan orangtua Arfan Malaki, ayah dan ibu Zainal Abidin bukan pegawai negeri; mereka berjualan barang kebutuhan sehari-hari di pasar kecil kira-kira satu kilometer dari permukiman kami.

     Ketika bapakku, yang bekerja sebagai pengantar rol film untuk bioskop, meninggal dunia, Ibu memanggilku pulang. Sebelumnya, yakni selepas dari sekolah menengah, aku sudah pergi merantau ke beberapa kota sebelum kemudian bekerja sebagai buruh pabrik besi di Tangerang. Dari Ibu kemudian aku tahu bahwa kebun kecil itu milik bapakku, yang diwariskan dari kakekku, dan akan menjadi milikku sebagai warisan darinya. Sedangkan rumah yang kami tinggali akan menjadi milik adik perempuanku. Sebetulnya adikku, yang sudah menikah dengan seorang laki-laki pelaut, bisa tak mendapat warisan. Akan tetapi kukatakan kepada ibuku agar rumah kami diberikan saja kepada adikku itu supaya ia dan suaminya bisa menemani Ibu.

     Setelah acara tahlilan atas meninggalnya Bapak selesai, aku teringat kembali pada kebun kecil itu; kebun rahasiaku. Sudah sepuluh tahun berlalu, sekarang aku tahu kebun rahasia itu memang milikku, dan aku ingin melihatnya kembali. 

     Ketika melewati rumah keluarga Arfan Malaki, aku melihat Arfan duduk di beranda sambil memangku seorang anak. Rupanya ia sudah punya keturunan. Aku tak berniat menyapanya; perasaan bahwa ia tak sepantaran denganku masih tersisa. Akan tetapi, di luar dugaan, Arfan Malaki memanggilku.

     “Bagaimana pekerjaanmu? Saya lihat di televisi, ibukota rusuh, ya?” ucapnya setelah aku duduk. Ia hendak memanggil istrinya untuk membuat teh, tapi aku menolak. Namun, istrinya tetap muncul di beranda dan mengambil anak mereka dari pangkuan Arfan Malaki. Aku mengenal perempuan itu. Ia tak lain adalah Pipit, adik Zainal Abidin. Pipit kelihatan malu-malu; ia cuma tertawa-tawa canggung dan langsung masuk setelah menyalamiku.

“Lho, Pipit jadi istrimu, ya,” ujarku. Arfan Malaki tertawa.

“Iya. Begitulah. Pernikahan kami sekaligus menandakan bahwa keluarga kami sudah berdamai. Ada cerita-cerita yang samar dari masa lalu. Kau tahu kan? Tapi semua itu tidak benar. Sekarang kami sudah tenang. Omong-omong, kau tahu ada kerusuhan di sini setahun lalu?”

     “Aku dengar dari berita. Bapak juga memberi kabar. Aku tidak bisa pulang, lagi pula Bapak juga melarang,” jawabku.

     “Wah, ngeri waktu itu. Anak-anak ikut menjarah toko. Kau ingat Akim, Edot, Tangsin, kan? Anak-anak yang suka main domino itu.”

     “Tentu. Aku ingat. Mereka masih suka main domino?”

     “Masih. Malah sekarang mereka membuka kalangan judi di rumah Tangsin. Beberapa kali digerebek polisi, tapi buka lagi. Tangsin rupanya punya bekingan.”     

     Sewaktu aku hendak pamit, Arfan Malaki bertanya hendak ke mana aku. Kujawab bahwa aku ingin mengunjungi teman-teman sebab sudah lama tak berjumpa. Sebetulnya tujuanku adalah ke kebun kecil yang sekarang kutahu merupakan milikku. Meski sudah lebih dari sepuluh tahun berlalu, dan kami telah sama-sama dewasa dan bisa jadi apa-apa yang dulu kutemukan di kebun itu tak lagi berarti apa-apa, aku tetap merasa bahwa kebun itu adalah rahasiaku. Bahkan, seperti di masa kecil, sebelum masuk kebun aku menoleh dulu ke kiri dan kanan, seakan takut ada yang melihat. Aku geli sendiri dengan kelakuanku.

     Pohon-pohon pisang masih tumbuh rapat di kebun itu. Warga juga masih suka membuang sampah. Laba-laba pun masih tetap menunggu mangsa, berdiri di serat jaringnya sendiri. Mungkinkah ini laba-laba yang sama dengan yang kulihat bertahun-tahun lalu? Waktu seperti tak bekerja di kebun ini. Aku beranjak ke bagian belakang kebun, tempat aku menyimpan benda-benda rahasia yang kukumpulkan dulu. Majalah yang penuh gambar-gambar orang telanjang masih ada; sudah lembap dan lengket. Gambar-gambar orang telanjang sekarang tak lagi mendebarkanku, begitu pula lembar-lembar surat, jarum suntik, botol-botol minuman keras, dan uang palsu. Waktu yang tak bekerja di kebun ini tampaknya bekerja dengan giat dalam diriku. Aku telah berubah, kebun ini tidak.

     Lantas kulihat selembar potret itu. Kuambil dan kuusap dengan telapak tanganku. Potret hitam-putih yang ganjil. Dalam potret itu seorang laki-laki berdiri menatap juru foto sembari mengacungkan parang ke arah leher laki-laki lain yang juga menghadap juru foto tapi tidak berdiri, melainkan bertumpu pada lututnya. Potret itu tampaknya menangkap suatu momen menjelang eksekusi mati. Berbeda dengan saat pertama kali melihatnya, sekarang aku punya keinginan untuk memperhatikan potret itu dengan lebih jelas. Tampak olehku orang yang menggenggam parang dalam potret itu agak mirip dengan Arfan Malaki, sementara laki-laki yang berlutut agak mirip dengan Zainal Abidin. Aku teringat cerita sama-samar perihal kedua keluarga itu. Tiba-tiba aku merinding. Kumasukkan potret itu ke dalam saku dan beranjak keluar dari kebun.

     Aku tak memilih jalan tadi sebab aku tak mau melewati kembali rumah keluarga Arfan Malaki. Aku melewati arah sebaliknya yang artinya aku akan melewati rumah keluarga Zainal Abidin. Ketika melewati rumah keluarga Zainal Abidin aku melihat Zainal duduk di beranda sambil memangku seorang anak. Rupanya, sebagaimana Arfan Malaki, ia juga sudah punya keturunan. Aku tak berniat menyapanya; perasaan bahwa ia tak sepantaran denganku masih tersisa. Namun, di luar dugaan, Zainal Abidin memanggilku. Terpaksa aku mampir.

     “Bagaimana pekerjaanmu? Saya lihat di televisi, ibukota rusuh, ya?” ucapnya setelah aku duduk. Ia hendak memanggil istrinya untuk membuat teh, tapi aku menolak. Namun, istrinya tetap muncul di beranda dan mengambil anak mereka dari pangkuan Zainal Abidin. Aku tak mengenal perempuan itu. Berbeda dengan Pipit, ia tak kelihatan malu-malu; ia menyalamiku dan bertanya perihal beberapa hal sebelum masuk membawa anaknya.

“Aku baru tahu Pipit jadi istrinya Arfan,” ujarku. Zainal Abidin tertawa.

“Iya. Begitulah. Pernikahan mereka sekaligus menandakan bahwa tak pernah ada masalah di antara keluarga kami,” ucapnya.

     Timbul keinginanku untuk menunjukkan potret eksekusi yang kutemukan. Aku tak tahu, apakah Zainal sudah pernah melihatnya. Aku merogoh saku dan mengeluarkan potret itu nyaris di luar sadar. Tanganku lebih dulu bergerak daripada keputusan yang hendak kuambil. Saat itu, tiba-tiba seseorang lewat di depan pintu pagar. Itu Arfan Malaki menggendong anaknya. Saat melihatku ia tampak terkejut. Ia langsung berhenti dan masuk ke halaman. “Lho, mampir ke sini,” serunya, lalu ia berpaling dan berkata kepada Zainal Abidin: “Tadi dia ke rumahku, Nal. Mau kubuatkan teh tapi dia tidak mau. Jangan bilang di sini dia malah mau.” Zainal Abidin hendak menjawab, tapi Arfan Malaki sudah memotong: “Apa itu yang kau pegang? Potret, ya? Potret siapa?”

     Tiba-tiba aku merasa seperti serangga yang salah memilih arah dan akhirnya terperangkap jaring laba-laba.*  

Lombok, 23 Desember 2022

*) image by istockphoto.com