KURUNGBUKA.com – Musik sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam dimensi kehidupan manusia. Ia bisa menjadi salah opsi pelipur lara, teman saat bersepeda, mood boster saat garap tugas dan bisa menggambarkan isi hati seseorang.

Nah, di Kota Bandung, lebih jauh lagi, musik bisa menjadi gerbang bagi seseorang belajar agama Islam lho, kawan! Tenang, saya nggak salah tulis, kok. Ini beneran!

Nggak usah lama-lama deh, saya akan sajikan wawancara langsung dengan salah satu Founder Komuji (Komunitas Musisi Mengaji). Yuk disimak!

***

  • Assalamu’alaikum Kang Alga, sory nih ganggu sebentar. Pengen ngobrol-ngobrol bisa kan, ya? hehehe….

 Wiiihh, kalem aja. Da saya geh baru beres konser hayang ngareureuh heula...

  • Kan baru beres perform nih, ya. Saya liat Kang Alga total banget saat tampil tadi. Bagi Kang Alga apa makna musik untuk hidup Kang Alga?

Musik tuh alat penyalur kegilaan aja. Anak The Pandal (Panas Dalam/red) itu memiliki profesi di luar bermusik. Musik itu hanya ketika kita ingin berekspresi, salah satu salurannya lewat musik. Pandal itu wadah kami berekspresi. Komuji more than itu.

Musik itu media untuk mencapai sesuatu yang sebenernya ada uneg-uneg di kepala kita. karena bagaimanapun musik itu sesuatu yang pernah menyelamatkan hidup kita. Mau di enggak-enggak juga, kita itu pernah punya pengalaman spiritual yang akhirnya bisa sampai ke titik ini gara-gara musik.

  • Sebelum ngobrol ke Pengalaman Spiritual dalam Musik dan Komuji. Pengen tau historis The Pandal dulu, deh. Sekarang kang Alga menjadi salah satu icon dari The Pandal. Masuk The Pandal itu tahun berapa, Kang?

Gini, saya jelasin dikit, nih. Pendiri pandal itu Ayah Pidi Baiq, kang Ninu, kang Erwin, Deni Rodendo. Komunitas ini membesar. Saya itu murid ayah Pidi di Villa Merah. Akhirnya masuk tahun ’98. Tahun 2000-an suka ikut-ikutan. Baracas semacam alter ego dari Pandal.

  • Oh, jadi Kang Alga itu pernah belajar di Villa Merah, ya. Nah, kemudian peran Ayah Pidi terhadap kang Alga apa, sih?

Saat itu Ayah Pidi menjabat sebagai Dekan di FSRD Ars University, Nah saya juga bantu ayah di urusan perdekanan. Jalinan emosional kami jadi lebih deket. Ciyyee. Haha. Saat ayah Pidi bikin album, beliau mengintruksikan “nggak ikut di Pandal.” Dari situ saya masuk sebagai official tahun 2005.”

  • Oke, jadi gitu hikayahnya ya, Kang. Nah kiwari saya rek nyolek Komuji nih. hehe… Awal komuji itu berdiri gimana, Kang?

Awalnya sih begini, yah. anak-anak band hayang ngaji tapi nggak mau berhenti bermusik. Asalnya anak band doang, kru ikutan, sound man ikutan, kawan-kawan di lingkaran itu pada ikutan.

  • Siapa nih Kang yang mencetuskan nama Komuji?

Saya, istri saya, kang Egi, teh Upit (istrinya kang Egi), dan Akbar (gitaris saya di band metal). Kita karna galau, kumpul-kumpul bikin pengajian. Awalnya berlima aja. Tiba-tiba nambah lagi, nambah lagi. Sampe lumayan agak banyak. Dan naik turun juga. Udah 30 orang nih sekarang bikin pengajian. Eh bulan depan 3 orang lagi. Haha

  • Selama Komuji berdiri pernah ada kejadian lucukah?

Jadi saat itu pernah ada intel yang ikut ngaji bareng kita. Mungkin kata dia tuh “Ini Komuji sesat nggak?” Setelah ikut ngaji gitu ya. “saya teh sebenernya lagi tugas.” Anjiiir. Kami yang saat itu satu majelis sontak kaget. Saha iyeu? Polisi ternyata. Kami tertawa bersama. haha

  • Apa manfaat yang udah Kang Alga dapat setelah Komuji ini hadir?

Manfaat ya, sebetulnya tuh bikin pengajian buat circle kita aja. Saya itu ngaji dari iqra dan sekarang alhamdulillah bisa tahsin. Sedikit-sedikit walau pun terbata-bata sudah di Al-Qur’an gede. Nah itu perjalanan di Komuji dari alif ba ta.

Coba bayangin ya. Dandanan kayak gini masuk masjid. Rambut mohawk dan pakaian kayak gini gitu. Dan orang kayak saya itu nggak sendiri. Banyak. Tatoan dan piercing mau masuk masjid khawatir bikin orang lain takut. Dan akhirnya kami memutuskan untuk mengaji di cafe aja. Sambil nyanyi yang penting belajar agama.

  • Bagi kang Alga sendiri Komuji itu sebenarnya apa, sih?

Komuji itu bukan pesantren dan bukan lembaga Pendidikan non formal. Malah saya lebih senang menganalogikan Komuji itu seperti gerbang untuk mempelajari agama. Ketika pengetahunanya bertambah dan ingin lanjut lagi ke tempat lain monggo.

Spectrum di Komuji itu banyak banget. Wah saya mah Islam, tapi ke sunda-sundaan. Bahkan diskusi kayak SunniSyiah dengan Sunda Wiwitan atau Agnostik atau tidak beragama kita mah disatuin saja. Dan mereka bertemu di Komuji. Walau berbeda pendapat tapi sadar bahwa kita itu hidup bareng-bareng.

  • Jadi All in one Komuji tuh ya, Kang. Ada momen mengesankan yang Kang Alga rasakan saat menjalankan aktivitas di Komuji?


apa yah? Sebentar saya inget-inget dulu. Haha

oh iya, jadi gini. pernah suatu waktu kami didatangi oleh Majelis Ulama Inggris Mr. Paul Amstrong. Saat Beliau datang ke Bandung hanya 3 part yang ia temui: Pemkot, Komuji, UIN Sunan Gunung Djati. Ketemu dengan pimpinan NU, Muhammadiyah, Persis. Kebayang, nggak? Komuji jadi salah satu option yang beda sendiri.

Dateng bukan ke tempat pengajian. Ada alat musik dan segala macem. Rumah Komuji tempat biasa kita perform. Host-nya saya, anak punk. “Anjiiirr, ini tempat apa?” kata mereka gitu. Haha

Dia bilang gini. Di sana itu Syiar itu nggak bisa keras-keras. Karena saat kita syiar dengan keras. mereka yang islamphobia itu lari. Bisa jadi nyerang balik. Jadi kita lewat kultur. Kultur apa? Modern. Salah satunya bermusik. Dan itu komentar mereka saat mengunjungi Komuji yang menyentuh sisi spiritual lewat jalan bermusik.    

  • Mantaaap! Nuhun pisan Kang Alga. Esok lusa kalo kami berkunjung ke Bandung lagi hoyong diajak ka tempatna Komuji atuh, nya.

Muhun, sami-sami. Tong hilap kabaran via Whatsapp, yah!