Saya menabur satu demi satu kembang-kembang kamboja yang saya pungut di sepanjang jalan menuju pusara. Seraya menaburkannya, tidak lupa saya lantunkan segenap doa-doa untuk Mas Hamid. Seiring waktu, matahari perlahan dilahap awan pekat di sisi barat, sementara tubuh saya mulai rebah di dada tanah persemayaman suami saya.
Saya belai lembut kepala batu nisan itu. Mata saya basah membaca titimangsa kelahiran dan kematian Mas Hamid yang berjajar rapi. Demikianlah, hidup dan mati rupanya tak benar-benar berjauhan. Sejenak, saat sorot mata dan lisan saya mengeja “Wafat: Selasa Kliwon, 14 April 2020”, seekor kunang-kunang kesiangan muncul entah dari mana, terbang melayang-layang di atas pusara. Mahkluk magis itu menari dengan sangat indah, seakan merayu saya untuk melampaui lintas waktu yang telah lalu.
Lalu gemuruh geluduk memberi sambutan bagi si bintang hidup itu. Kesiur angin sore pekuburan berangsur merambat ke sekujur badan. Saya pun semakin nyaman merebah di dada tanah persemayaman Mas Hamid. Ingatan tentang peristiwa yang terjadi nyaris setahun lalu sekonyong-konyong hidup kembali.
***
Saya dan Mas Hamid sepakat berpisah. Kami sama-sama tahu bahwa perkawinan yang sejak mula tidak berangkat dari hati yang tulus ialah penjara paling kejam di dunia. Desakan ayah Mas Hamid karena masalah usianya dan paksaan ayah saya sebab ekonomi keluarga, ternyata bukanlah formulasi tepat bagi angan-angan rumah tangga rukun dan sentosa. Jika dingat-ingat, sesungguhnya di antara kami tak ada yang betul-betul dewasa, melainkan seorang bocah yang terjebak di tubuh laki-laki usia 35, juga seorang gadis 19 tahun yang belum tahu—dan mungkin tak mau tahu—tentang cara menghadapi dan menghidupi perkawinan.
Kala itu, setelah berhasil menahan paras palsu riang nan gembira di panggung pesta perkawinan, kami tak banyak terlibat baku sapa. Saya sibuk melepas piranti rias di depan cermin, sedangkan Mas Hamid khusyuk menebar asap rokok di sudut kamar sembari memiring-miringkan gawainya.
Sejak hari itu pula, masalah nyaris datang bergilir-gilir seperti air yang turun dari langit pada musim penghujan. Rumah pemberian orangtua Mas Hamid yang kami tinggali tak pernah menawarkan suasana yang sehat. Kami yang semula jarang baku sapa, lambat laun menjadi gemar sekali baku mulut. Mas Hamid teguh dengan sikap belagunya, sesumbar tentang harta dunia yang mengalir dari keringat ayah-ibunya. Saya pun sebisa mungkin tak sudi mengalah. Saya enggan menjual harga diri meski sebenarnya tempurung kemiskinan melekat di punggung keluarga orangtua saya.
Saya tegaskan lagi bahwa kami sepakat berpisah. Meski begitu, kesepakatan tersebut tiada lantas mengusir keributan dari hidup kami berdua.
Saya minta Mas Hamid-lah yang mengurus perpisahan itu. Akan tetapi, karena ialah yang bertabur uang, maka kuasa pun seperti berada di genggamannya. Di suatu penghujung hari yang suntuk, Mas Hamid mendaratkan seamplop berisi uang ke ujung kaki saya.
“Kalau kurang, ngomong. Biar saya kasih lagi!” ucapnya, sudah itu berlalu menuju beranda—melanjutkan kegemarannya bermain gawai.
Karena jengah dengan kondisi bancuh ini, maka biarlah saya yang mengalah demi sebuah kemerdekaan. Oleh sebab itu esoknya, saya pun pergi ke kantor pengadilan agama di jantung kota.
Di sana saya turuti apa-apa yang diminta petugas pengadilan. Ternyata ada beberapa dokumen yang mesti saya urus dahulu di kantor desa. Dengan ringan langkah saya pergi ke sana. Sesudah dari kantor desa, saya datang kembali ke pengadilan agama. Dan betapa jengkelnya saya, rupanya ada dokumen lain yang harus saya lengkapi lagi. Setengah menggerutu terpaksa saya menuruti petugas yang gemar berlindung di balik kata aturan dan birokrasi itu.
Singkat waktu, seluruh dokumen berhasil saya siapkan-sanggupi. Maka saya pun berganti urusan dengan seorang petugas lain. Di hadapannya, saya mulai mendedah masalah-masalah rumah tangga tanpa sedikit pun ragu. Entah berapa kali petugas itu bilang kalau masalah saya kurang spesifik bahkan terkesan kabur. Saya lantas melayangkan protes.
“Mau diapa kalau memang begitu adanya, Pak? Kalau masalah sepele saja bisa membikin keluarga berantakan, kenapa perlu mencari-cari masalah yang lebih besar?” protes saya dengan nada agak meninggi.
Si petugas tak lagi menyanggah. Ia tampak menyerah dalam upaya penggaliannya sendiri, dan kemudian melanjutkan pekerjaannya menyusun gugatan sesuai dengan apa yang saya utarakan.
***
Berbagai rutuk dilayangkan Mas Hamid kepada saya. Ia mengatai saya bodoh karena tak mampu berargumen di hadapan majelis hakim. Itulah mengapa akhirnya perkara perceraian kami ditolak begitu saja.
“Saya sudah bilang, kan, kamu saja yang menggugat!” saya membela diri. Bagaikan batu kali, Mas Hamid tetap tak terbantahkan dan enggan menerima bantahan saya.
Saya merasa kalau malam ini lebih mencekat dibandingkan malam-malam lalu. Saya hanya bisa membisu di bibir ranjang, sambil memikirkan penjelasan tiga orang hakim tadi pagi tentang penolakan mereka yang urung saya mengerti. Saya tak habis pikir. Apa mereka kira penolakan bakal berdampak baik bagi keutuhan rumah tangga kami? Ah, omong kosong belaka.
Malam telah habis, pagi mulai terbit, dan yang terjadi berikutnya adalah sebuah anomali. Tak seperti biasa, Mas Hamid tiba-tiba mengajak saya untuk bicara.
“Apa? Jangan gila.” Saya terperanjat mendengar ucapan Mas Hamid. Bocah tua itu sungguh membuat jantung saya nyaris berhenti.
“Keadilan tak akan pernah tegak kalau orang macam dia selalu dibiarkan,” katanya. Matanya mendelik menembus pandangan saya.
Kali ini gurat wajahnya tampak lain, dan saya pun tak mampu memberi sanggahan. Sebab kalau dipikir-pikir lagi, negara ini memang sering bercanda dalam mengurusi masalah hukumnya.
“Lalu apa maksudmu?” tanya saya lagi.
“Kita kasih mereka pelajaran,” jawab Mas Hamid sembari menunjukkan sebuah kepalan tangan.
Saya buru-buru menghindar dari hadapan laki-laki itu. Kepala saya mendadak diserang pusing. Bohong kalau dibilang saya ikhlas belaka menerima perlakuan hakim-hakim itu. Namun demikian, tak pernah pula terlintas di otak tentang upaya balas dendam sebagaimana yang diucapkan Mas Hamid barusan. Lama saya menahan nyeri pada tempurung kepala. Beberapa menit kemudian Mas Hamid datang. Ia duduk di samping kiri saya.
“Dengarkan dulu,” ucapnya seraya mengela napas agak panjang. “Abaikan masalah kita sejenak. Sekarang bayangkan, berapa banyak orang-orang yang merugi seperti kita akibat kebodohan hakim itu?” terangnya, pelan dan meyakinkan. “Kita tidak sedang membela urusan kita sendiri, tapi juga nasib orang lain,” tandas Mas Hamid lagi.
Saya menoleh ke arahnya. Mata kami pun baku tatap barang sejenak—tentu saja ini sesuatu yang baru pertama kami alami.
“Saya harus bagaimana?” tiba-tiba kalimat tanya berpelesat begitu saja dari mulut saya. Mas Hamid tersenyum. Tubuh saya mematung ketika tangannya menjalar lambat di pundak kanan saya. Entah malaikat apa yang ditugaskan Tuhan untuk mendorong bibir kami berpagut satu sama lain. Sejak saat itu kami menyadari, ada rencana yang telah kami sepakati.
***
Hanya terhitung sepekan waktu yang kami perlukan untuk mengumpulkan segala informasi tentang target sasaran. Kami telusuri jejak ketiga hakim itu dari laman daring resmi pengadilan agama, bahkan sampai mengekori masing-masing dari mereka setiap sore usai bubaran kerja. Tempat tinggal mereka hanya selisih beberapa lorong karena berada di satu kompleks perumahan yang sama.
Tiba di hari kesepakatan, kami mulai menjerang siasat beserta kemungkinan-kemungkinanya. Jujur saja, sekujur badan saya sempat setengah mati disergap gugup. Namun Mas Hamid lekas-lekas meyakinkan saya bahwa tak akan ada nyawa yang hilang sia-sia, melainkan cukup dengan menebar teror dan ketakutan.
Akhirnya saya takluk. Seraya menebalkan nyali dengan ingatan-ingatan ketidakadilan yang menimpa saya tempo lalu, sepenuhnya saya tunduk pada Mas Hamid. Saya dipersenjatai oleh Mas Hamid dengan tiga ekor ayam mati. Sedangkan dia membekali diri dengan sebuah pistol—saya tidak tahu-menahu dari mana dia memperoleh semuanya.
Kami berangkat sudah, menembus dinginnya malam keji dan lengang. Begitu tiba di kediaman target pertama, dengan segenap kehati-hatian, saya letakkan seekor bangkai ayam di beranda rumah si hakim pertama. Berjarak lima depa dari tempat saya berdiri, di bawah remang malam, saya lihat Mas Hamid mengacungkan jempolnya.
Aksi pertama pun berjalan mulus. Kami lanjut ke rumah hakim kedua. Sekarang giliran saya berjaga. Terlihat Mas Hamid berjinjit-jinjit menekuri langkah mendekat ke arah gerbang. Saya awas mengamati situasi kiri-kanan. Masih aman terkendali.
Setelah saya perhatikan baik-baik, rupanya yang dilakukan Mas Hamid di sana seperti di luar kesepakatan kami. Saya menyaksikan Mas Hamid malah merangsek melewati gerbang, menuju teras, lalu celingkuan seolah mencari celah untuk masuk ke dalam.
Seketika itu jantung saya mendadak seperti kuda berlari. Apa yang dilakukan bocah tua dan biadab itu? Saya pun jadi lebih giat menyapu pandangan demi memastikan semuanya baik-baik saja. Begitu kembali menajamkan mata ke arah rumah hakim kedua itu, rupanya sosok Mas Hamid sudah lenyap entah ke mana, dan menyisakan sorot lampu yang terbentuk dari celah pintu yang terbuka.
Puluhan kuda liar kian menyesakkan seisi dada, membuat napas saya tersendat-sendat. Saya tak punya pilihan. Saya harus menyusul Mas Hamid dan menyeretnya kembali sebelum celaka menimpa kami. Baru dua kali kaki melangkah, dua ledakan pistol memecah gendang telinga saya yang sunyi. Sekonyong-konyong saya berubah menjadi ratusan bahkan ribuan kuda liar. Tunggang-langgang saya menjauh dari tempat biadab itu.
***
Matahari dan jiwa saya rupanya sudah sama-sama terbenam. Saya basuh air mata yang tumpah di sekujur pipi. Masih berada di samping pusara suami, saya melantunkan doa-doa lagi. Dari dada terdalam mulai terdengar bisik-bisik pengandaian. Seandainya waktu itu kami lebih bijak menyikapi takdir, tentu perpisahan ini mustahil terjadi.
Saya dan Mas Hamid sepakat berpisah. Betul. Begitulah adanya. Dahulu kami memang ingin bercerai selekas mungkin. Namun sejujurnya bukan perpisahan macam begini yang saya kehendaki.
Saya mendengus perlahan. Di dasar hati saya mengalun ucap terima kasih untuk para hakim brengsek itu. Setidaknya, merekalah yang membuat kami sempat merasakan kebersamaan dan saling memercayai, biarpun dalam waktu yang jauh dari kata lama.