Bagaimana jika hujan turun secara tiba-tiba dan kau sedang dirundung sedih tetapi kau tergesa-gesa untuk sampai menuju tempat yang sebetulnya tak pernah ingin kau sambangi kembali? Atau bisa saja, kau berusaha mengalah dan melakukan kesibukan lain, misalnya dengan mengukur seberapa cepat kerumunan orang merebak ke bangku-bangku terminal dengan tetes hujan sampai ke tubuhmu. Seperti pagi itu, kau mengalah dan mulai memperhatikan ruas-ruas parkiran terminal. Menghitung beberapa bus pergi-kembali atau menebak-nebak kapan bus yang terbengkalai itu bertahan menunggui belasan penumpang sebelum berangkat dan sampai ke terminal selanjutnya.

Sepi adalah besi tua, dengan harapan pendek sebelum jadi rongsokan. Kau bergumam setelah memandangi bus-bus mangkrak dan terlihat tak layak jalan di samping pojok terminal jurusan Yogyakarta-Malang.

Hujan mereda. Setelah kau putuskan untuk melenggang ke pelataran terminal yang katamu selalu memiliki bau khas. Bau harapan-harapan hidup yang janggal. Kau rasakan, tak ada perubahan apa pun. Selain hilir-mudik orang dengan wajah yang tak kau kenal. Sedang rutinitas terminal tetap serupa. Seperti beberapa tahun lalu saat terakhir kau ke tempat ini. Orang-orang berdatangan menawarkan apa pun yang dapat ditawarkan. Jasa pembawa tas, jasa ojek dengan jaminan mengantarkan ke mana pun kau berhenti di sudut-sudut kota, hingga jasa memurnikan kenangan. Pelan-pelan kau berjalan menaiki tangga menuju kios-kios penjaja makanan.

Biasanya, di sudut pojok kios paling utara, sebelum musala kecil yang hanya seperti sekat kamarmu di kampung dan di tempat itu pula kau biasa merehatkan tubuh, ada jasa pemurni kenangan langganan. Dan mesti, ketika kau sampai di kota ini, akan berhenti sebentar untuk menggunakan jasanya. Namanya Mbok Mirah, perempuan yang masuk usia uzur tetapi memiliki perawakan menyenangkan.

Woalah, Mas Aldi toh. Baru sampai Yogya, ya?” pelan Mbok Mirah memulai percakapan sambil tangannya sibuk meracik bahan-bahan.

Kau tersenyum tipis. Sambil lalu mencari tempat duduk paling nyaman.

Nggih, Mbok. Setelah beberapa tahun tak percaya lagi kepada kota ini,” balas kau dan kali ini dengan senyum menyeringai.

Mbok Mirah menangkap wajah ragumu sekilas, dua detik kemudian ia samar-samar tersenyum dengan anggukan yang membuat pikiranmu ke mana-mana.

Selang beberapa saat, ia bangkit dan bergerak pelan ke depan sembari mengusap ubun-ubunmu. Membaca dua-tiga kalimat Jawa yang tak pernah kau pahami maknanya. Tetapi sejurus kemudian, pelan-pelan ingatan burukmu tentang kampung halaman tercerabut. Pelan-pelan tubuhmu ringan, seperti bus tua berangkat menuju pemberhentian selanjutnya.

Cepat-cepat kau berseloroh sebelum racikan bahan yang terdiri dari beberapa kembang khas dan daun-daun berwarna jingga itu diguyurkan di kepalamu, “juga tentang kota ini” ia diam beberapa saat. Lalu bergumam, “ternyata,” ucapnya dengan gelisah, “ada juga orang yang membenci kota ini” dan kau tidak menjawab.  Hanya sesekali pura-pura mengecek ponsel untuk mengalihkan pembicaraan, juga memperhatikan hiruk-pikuk kehidupan di terminal paling monumental itu.

Sepi adalah besi tua, dengan harapan pendek sebelum jadi rongsokan. Kau bergumam sekali lagi sambil memejamkan mata.

Seketika kau seperti terlempar dari tempatmu duduk ke galaksi lain. Semacam diseret lubang hitam ganjil sekaligus menakutkan. Kau bayangkan, perasaan aneh itu barangkali juga dirasakan Harry Poter, tokoh fiksi rekaan J.K. Rowling, yang di perjalanan baru kau tamatkan serial terakhirnya. Bedanya, kau bukan berkelahi dengan monster-monster aneh atau penyihir dengan sapu yang dapat melayang, kau berkelahi dengan pikiranmu sendiri yang semakin lesat waktu, semakin memuakkan.

Apa jadinya jika seorang laki-laki terperangkap di rangkaian waktu serupa selama bertahun-tahun? Seperti radio usang dimiliki kakekmu dan selalu memutar kaset sama setiap kali kau berkunjung ke rumahnya. Kenangan pendek tetapi rumit itu selalu menghantui pikiranmu sehingga dirimu mudah lelah dan meragukan apa pun dari hidup.

Mbok Mirah sudah memulai ritual, ia membaca mantra Jawa lebih intens dari sebelumnya. Beberapa waktu kemudian menaburkan bunga Padma yang sudah dikeringkan ke leher belakangmu. Lalu meremas kembang-kembang lain yang sudah dicampur dengan dedaunan warna jingga. Seketika kenangan pendek itu berhambur di kepalamu. Seketika suara bising yang tadinya samar-samar kau dengar dari aktivitas terminal pelan menghilang.

Kenangan pendek yang sudah memudar itu berkumpul seperti ketika kau diminta ponakanmu menyelesaikan puzzle pemberian tetanggamu yang baru pulang dari kota sehabis merantau. Dan tentu, kenangan pendek itu yang sedianya ingin sekali kau hapus. Kau tiba-tiba seperti menyintas waktu, atau menonton film di bioskop murah di kota kelahiranmu. Tiba-tiba kau berdiri di terminal itu dan menyaksikan adegan melankolik seorang perempuan dan laki-laki yang adalah dirimu.

“Sungguh kau terlalu keras kepala. Keras kepala sekali!” seru perempuan itu, seorang perempuan dengan selera berpakaian khas keturunan Tionghoa.

Perempuan itu, perempuan cantik itu, mengenakan gaun putih seperti baru selesai misa di gereja. Sedang lelaki yang adalah dirimu hanya menatap kosong. Tak bergeming. Jaraknya mungkin dua depa. Bising aktivitas terminal tak mempengaruhi keintiman kalian.

Selang beberapa saat, kau bergumam akhirnya, “jalan terbaik buat lelaki tolol macam aku,” sedetik kemudian mereka berpelukan erat sekali.

Sepi adalah besi tua, dengan harapan pendek sebelum jadi rongsokan. Cerca pikiranmu sekali lagi. Beberapa menit setelahnya, mudah ditebak. Lelaki yang adalah dirimu itu bergerak menjauh dan menaiki bus jurusan kota kelahiran dengan langkah sedikit berat. Wajahmu terlihat capai sekali. Sangat capai. Akhirnya sebelum menaiki tangga bus, lelaki yang adalah dirimu itu sekali lagi menoleh menatap perempuan itu dengan tatapan nanar, dengan senyum pipih.

Rasa-rasanya, Mbok Mirah hampir menyelesaikan ritual memurnikan kenangan. Dua-tiga kali rambut bagian depanmu dicabut untuk dibakar sebagai syarat akhir. Sementara matamu masih sulit digerakkan. Kau kembali terlempar pada kenangan pendek itu. Lelaki yang adalah dirimu itu sebetulnya tak pernah ingin meninggalkan kota itu. Tetapi tiga hari lalu ia menjadi pendemo rusuh dengan tuntutan cukup mengejutkan. Lelaki yang adalah dirimu itu menuntut seorang pejabat pemerintah ditangkap karena ditengarai menggelapkan dana pendidikan suatu kampus dengan jumlah menggiurkan, 7,5 triliun. Dan lelaki yang adalah dirimu itu diburu di indekos dan kampus tempatnya biasa nongkrong sambil menyusun strategi demo. Tetapi lelaki yang adalah dirimu itu cukup cerdik dengan bersembunyi di rumah pacarnya.

Akhirnya setelah 12 jam perjalanan pulang setelah lelah bersembunyi, lelaki yang adalah dirimu itu sampai juga di kampung halamannya. Baru saja sampai di gerbang pekarangan rumah, lelaki yang adalah dirimu dikirimi pesan video di ponselnya. Terlihat seorang perempuan cantik tanpa busana yang adalah pacarmu sedang dirangkul mesra oleh lelaki tambun yang adalah pejabat pemerintah yang kau demo beberapa hari lalu. Kau berseru tak percaya. Misuh-misuh. Seakan, segala binatang jorok dan menjijikkan keluar dari mulut lelaki yang adalah dirimu itu. Seakan-akan. Seakan-akan.

 Tiba-tiba pundakmu diguncang pelan. Matamu mengerjap menyesuaikan cahaya matahari yang mulai meninggi. Suara bising aktivitas terminal mulai menyebalkan lagi. Ini sudah sekitar jam delapan pagi dan akhirnya Mbok Mirah menatapmu dengan janggal lalu bergumam pelan, “ternyata,” katanya pelan, “Mbok tidak pernah bisa menghapus kenangan yang bertalian erat dengan kota ini,” sungging senyumnya, terlihat kecil. Kau diam. Mencoba memahami kalimat itu dengan baik. Kalimat itu seperti mengambang di udara dan semakin lama semakin besar, seperti mencuri udara di sekitarmu. Kemudian dadamu sesak.

Sepi adalah besi tua, dengan harapan pendek sebelum jadi rongsokan. Gumammu pelan-pelan, sambil memperhatikan orang-orang berdesakan menaiki tangga bus jurusan Yogyakarta-Surabaya yang beberapa menit kemudian meninggalkan terminal monumental itu.

Yogyakarta, 2023

*) Image by istockphoto.com