Indah Prihanande atau lebih akrab disapa Nenda, adalah wanita asli minang yang selama 15 tahun ini banyak menginspirasi karena telah mendedikasikan hidupnya untuk memperjuangkan hak-hak kemanusiaan masyarakat dhuafa dan terpinggirkan di Provinsi Banten.
Berawal menjadi relawan untuk proses persiapan sistem laporan keuangan Laz Harfa, kemudian menyiapkan laporan audit untuk project Laz Harfa terkait dengan project luar negeri.
Nenda akhirnya terjun langsung di ranah kemanusiaan bersama Laz Harfa. Terlebih Nenda merasa tertantang untuk dapat membantu menyelesaikan persoalan di masyarakat dan memperdalam untuk mempelajari bidang pemberdayaan masyarakat desa khususnya di bidang sanitasi dan ekonomi.
Beberapa hari lalu, tepatnya pada Kamis (25/12/2019), kurungbuka beruntung bisa berkesempatan mewawancarai Nenda, perempuan hebat kelahiran 24 Januari 1974 ini. Berikut kutipan wawancara kami dengan Bu Nenda:
- Apa yang melatarbelakangi Ibu bergabung dengan Laz Harfa?
14 tahun lalu kurang lebih saya bergabung dengan Laz Harfa. Dulu saya diminta bantuan untuk menyelesaikan membantu persoalan di pelaporan keuangan karena saya background-nya di akuntansi. Terus waktu itu saya masih di Jakarta, kuliah di STIE Muhammadiyah Jakarta. Kemudian saya diminta bantuan waktu itu di Jakarta. Diminta bantuan untuk membereskan laporan keuangan.
Saya melihat ada sesuatu yang berbeda di Laz Harfa ini karena berangkat dari persoalan di masyarakat Pandeglang dan Lebak yang buang air besar sembarangan karena tingkat ekonomi masih rendah. Setelah itu saya mempelajari bagaimana bisa mengubah pola perilaku BAB mereka yang biasa dilakukan di sawah dan di kebun. Laz Harfa berkonsentrasi di sana, dari persoalan itu akhirnya saya memutuskan untuk pindah konsentrasi di Pandeglang.
- Adakah hal yang paling diingat ketika keliling untuk bertugas di Pandeglang?
Jadi kalau pertama kali kita masuk ke pelosok itu kasusnya sama yakni buang air besar sembarangan. Jadi baunya luar biasa. Itu tercium begitu kita masuk perkampungan dan di pikiran saya itu kan tidak jauh dari ibukota negara. Namun, persoalan mendasar seperti itu masih berlangsung. Padahal di bagian bumi yang lain sudah memikirkan bagaimana tinggal di planet lain, sementara di sini belum selesai dalam peradaban mendasarnya. Sementara mereka pun tidak merasa bersalah karena itu perilaku yang sudah dianggap benar.
Wilayah terjauh yang pernah saya kunjungi di Pandeglang, sangat pelosok banget. Misalnya Cikeusik, pernah juga di Cigeulis, Angsana, Kadu Badak dan wilayah-wilayah perbatasan lain.
- Mereka terus buang air besar sembarangan apakah tidak ada sentuhan dari pemerintah?
Karena sudah kebiasaan ya. Kedua memang keterbatasan pemerintah dalam memberikan pemahaman walaupun kami memahami puskesmas sudah menjalankan tugasnya namun karena mungkin ada keterbatasan itu jadi belum maksimal dalam pencegahannya.
- Kenapa ibu mau terjun ke peloksok pada saat itu sementara mungkin ada hal lain yang lebih banyak bisa dilakukan di Jakarta?
Ya betul. Saya di Jakarta posisinya sebagai komisaris dan direktur di bagian keuangan yang kerjanya banyaknya sebagai konsultan. Sebagai konsultan kerjanya juga enak, nggak mesti capek. Imbalan juga oke. Namun ada yang berbeda ya, dari nilai kebermanfaatan dari itu semua bahwa sebetulnya hidup itu buat apa? Lebih kepada tujuan hidup saja untuk menjadi manfaat walaupun itu hanya klaim sepihak walau kata orang lain akan berkata ‘apaan sih?’ Saya merasa apa yang harus saya lakukan sebagai sumbangsih kita kepada masyarakat dan negara. Sebagai sesama umat memang harus peduli.
- Bagaimana pandangan keluarga ketika ibu bergabung ke Laz Harfa?
Kalau keluarga, sih, alhamdulillah memang ada pertanyaan, kenapa, terus mau ngapain, terus bagaimana. Tapi memang kami biasa memutuskan sendiri dan dalam keluarga tidak terlalu masalah. Justru yang masalah itu dari teman-teman, ngapain sih, ngapain lu kerja gitu, ah sayang itu, dan pertanyaan-pertanyaan lain yang cenderung menilai keputusan kita.
- Strategi apa yang kini digunakan Laz Harfa untuk mengentaskan perilaku BAB sembarangan di wilayah terpencil Banten?
Kami menyusun strategi, melakukan edukasi dan pemberdayaan agar masyarakat mau mengubah perilaku BABS tanpa bantuan dana sepeser pun dan lahir dari kesadaran masyarakat itu sendiri. Kini, sebanyak 55.000 jiwa di Banten telah berhasil mengubah perilaku BABS ini dengan memiliki 10.054 jamban melalui arisan jamban.
Pencapaian ini tentu bukan hal mudah bagi kami, ada banyak pengorbanan, perjuangan bahkan peluh untuk dapat meyakinkan masyarakat bahwa memang perilaku BABS yang mereka lakukan harus segera dihentikan.
- Selain persoalan BAB, hal apa saja yang dilakukan oleh Laz Harfa?
Sebetulnya bukan hanya berperan dalam persoalan sanitasi, akan tetapi juga bergerak membantu orang-orang difabel selama 10 tahun lamanya. Kami pun mendampingi orang-orang difabel memang dari kondisi tidak mandiri hingga dapat hidup normal seperti orang lainnya terutama dalam melakukan aktivitas.
Kita juga turun langsung di persoalan tanggap kebencanaan, salah satu konsentrasinya tentu di bidang recovery dan rehabilitasi. Sudah banyak persoalan yang kami tangani baik pada saat gempa Lombok, tsunami Palu maupun hingga saat beberapa waktu lalu pada tsunami Selat Sunda.
Bahkan sampai akhir tahun 2019 saya bersama Laz Harfa masih membuka posko besar untuk bantuan tsunami selat Sunda dan akan berlanjut untuk pemberdayaan sampai penyintas benar-benar dapat pulih kembali.
—————-
Begitulah kurang lebih percakapan kami dengan Bunda Nenda, yang kini menjabat sebagai Direktur Laz Harfa Banten, saat ditemui di kantornya di Serang. Nah, seperti kita ketahui bahwa Indonesia adalah juara ke-2 perilaku Buang Air Besar Sembarangan Sedunia, dan Kabupaten Pandeglang serta Kabupaten Lebak itu menjadi wilayah Kabupaten yang selain tertinggal juga kondisi sanitasinya sangat buruk. Bagi mereka buang air besar di kebun, di hutan, di sawah, di ladang itu menjadi salah satu kebiasaan yang turun temurun dan memang sangat susah untuk dapat mengubah mindset dan perilaku tersebut.
Dengan visi dan dedikasinya di dunia kemanusiaan khususnya permasalahan sanitasi dan ekonomi akhirnya mengantarkan Bu Nenda dan Laz Harfa pada tahun 2018 meraih penghargaan sebagai Laz Provinsi terbaik dalam pemberdayaan masyarakat pada ajang bergengsi BAZNAS Award dan juga kembali menyabet penghargaan langsung dari Bank Indonesia (BI) sebagai pemenang nasional Laz terbaik dalam pemberdayaan provinsi. (Lemri/red)
Trackback/Pingback