Di antara keramaian Plaza Senayan malam itu, dengan mengenakan kemeja hitam lengan panjang, wajah Iksaka Banu tampak bahagia sewaktu namanya disebut sebagai pemenang Kusala Sastra Khatulistiwa 2019 kategori prosa, atas bukunya Teh dan Pengkhianat. Ia melangkah menaiki panggung utama yang disambut gemuruh tepuk tangan para hadirin dan finalis yang datang malam itu, (16/10).
Usai acara banyak sekali yang menghampirinya untuk sekadar memberikan selamat dan berfoto. Sebagian yang lain berebut mewawancarainya untuk media masing-masing. Saya, tentu tak ingin terburu-buru. Masih ada waktu, pikir saya malam itu.
Keesokan harinya, saya mencoba menghubungi beliau via inbox di Facebook. Saya izin untuk mewawancarainya. Dengan sangat ramah, beliau membolehkannya. Saya mengajukan pilihan, karena saat itu saya harus kembali ke kota lahir, mewawancarai Mas Iksaka boleh via email atau telepon?
“Boleh lewat email saja,” balasnya. Kemudian ia mengirimkan alamat surelnya, karena saya juga paham betapa kesibukan beliau bertambah setelah pengumuman penghargaan KSK itu. Berikut wawancara yang telah kami lakukan:
- Apa yang Mas Iksaka lakukan sebelum menulis?
Sehari-hari saya bekerja di rumah sebagai desainer grafis. Saya selalu berusaha disiplin membagi waktu antara bekerja sebagai desainer dan menulis. Biasanya saya menyediakan waktu pagi hingga siang (pukul 08.00 – 14.00) untuk mengerjakan pesanan grafis dari klien, membuat brosur, cover buku, leaflet, dan lain-lain. Setelah pukul 14.00, saya beralih kegiatan. Mulai konsentrasi menulis hingga pukul 21.00 atau 22.00. Saat menulis itu, tentu saja saya mempersiapkan diri sesuai tuntutan cerita yang saya tulis. Biasanya banyak buku referensi di sekeliling saya.
- Di tempat mana Mas Iksaka biasa menulis?
Dulu, sebelum intens menulis tema sejarah kolonial, saya bisa menilis di mana saja. Di warung, di kafe, dan lain-lain. Tetapi setelah mulai serius menulis tema sejarah kolonial, saya mutlak harus menulis di rumah. Di kamar kerja saya. Ini berkaitan dengan tumpukan buku dan dokumen referensi, yang tentu saja akan sulit bila dibawa ke kafe atau tempat-tempat publik lainnya.
- Buku apa yang pertama Mas baca?
Maksudnya buku pertama ketika saya mulai tertarik menulis di masa kecil? Bila itu yang dimaksudkan, maka buku bacaan saya ketika kanak-kanak adalah buku-buku fiksi ilmiah karya Pak Djokolelono terbitan Pustaka Jaya, buku-buku terbitan BPK Gunung Mulia, buku-buku seri Elang terbitan Gramedia, dan komik-komik karya RA Kosasih, S. Ardisoma, Kus Bramiana, Wied NS, Hasmi, Jan Mintaraga, Ganes TH, Djair Warni, dan Teguh Santosa.
- Kemudian, Mas Iksaka seperti yang kita ketahui sudah menulis bahkan melukis sejak kecil. Nah, menurut Mas, bagaimana jika seseorang baru mulai menulis pada usia yang lebih dewasa? Apakah menulis ada keterkaitan dengan bakat? Seperti para atlet badminton atau sepak bola yang harus memulai dari tingkat kanak-kanak pada umumnya?
Saya memang mulai menulis saat kelas 4 SD sampai kelas 5 SD, tetapi kemudian berhenti total. Dan baru mulai menulis lagi tahun 2000. Rasanya biasa saja. Yang berbeda tentu tema tulisan dan pilihan kosa kata kita, seiring dengan kedewasaan. Bakat? Mungkin juga. Tetapi menurut saya kuncinya lebih karena kita gemar membaca. Saya percaya bahwa seseorang yang gemar membaca biasanya sanggup menulis, karena di benaknya telah tersimpan banyak sekali plot cerita dan kosa kata. Lebih sempurna lagi bila ia juga banyak bergaul dan jalan-jalan.
- Jika harus memilih, mana yang Mas Iksaka pilih, melukis atau menulis?
Bila ‘melukis’ itu boleh diterjemahkan sebagai pekerjaan grafis, misalnya menyusun komposisi, memilih warna, memilih gambar dan mengolahnya dengan komputer, maka sejauh ini saya telah melakoni keduanya dengan sama baik. Tetapi memang sudah lama sekali saya tidak melukis dengan cat dan kertas atau kanvas.
- Pertanyaan selanjutnya terkait Karya Mas Iksaka, mengapa menulis novel berlatar sejarah?
Lebih tepatnya: sejarah kolonial. Saya tertarik menulis sejarah kolonial karena sejarah kolonial itu adalah periode sejarah yang paling sering disalah artikan, ingin dilompati, bahkan sering kali seperti ingin dihapus dari peta historiografi Indonesia karena dianggap bukan bagian dari sejarah Indonesia lantaran disusun oleh sejarawan Belanda untuk kepentingan warga Belanda di Hindia tempo dulu.

Menurut saya, lepas dari siapa yang menulis, historiografi kolonial itu sangat penting, dan memiliki kedudukan sejajar dengan historiografi tradisional yang mengulas raja-raja Nusantara kuno, dan historiografi nasional yang disusun setelah kita merdeka. Dengan mengakui ketiga periode itu, kita akan semakin yakin bahwa sejarah tidak mungkin bisa dihapus. Adanya kita hari ini tentu karena adanya masa lalu. Dan bila masa lalu ayah kita, masa lalu nenek kita, masa lalu buyut kita kebetulan berimpitan dengan masa lalu orang Belanda di sini, tentu masa lalu bernuansa kolonial itu harus kita akui juga sebagai bagian dari sejarah kita.
- Alasan apa yang melatarbelakangi Mas Iksaka dalam novelnya lebih dominan memilih orang kulit putih sebagai tokoh protagonis?
Salah satu alasannya, saya ingin memutus rantai kebencian kita dengan bangsa Belanda yang telanjur tertanam kuat selama bertahun-tahun. Betul bahwa nenek moyang kita pernah tertindas dan kehilangan martabat di bawah kekejaman rezim kolonial, dan cerita sedih itu kemudian diwariskan turun temurun menjadi dendam dan kebencian. Celakanya, saat kita suadh merdeka, dan Belanda bukan lagi musuh kita, dendam itu masih terpelihara.
Ini berbahaya, karena bisa membuat kita menjadi destruktif dan kehilangan nalar. Semua yang berbau kolonial, entah itu gedung, buku, atau hal lain, mendadak ingin dihancurkan karena dianggap bukan bagian dari sejarah asli Indonesia. Coba lihat, berapa banyak gedung warisan kolonial yang sudah musnah dihancurkan atas nama dendam dan kebencian. Kita sudah kehilangan Hotel Des Indes (diganti Duta Merlin), kita sudah kehilangan Societeit de Harmonie (diganti lapangan parkir Setneg), dan puluhan vandalisme lain.
Padahal itu bagian sejarah kita juga. Saksi sejarah kita. Dengan mengambil sudut pandang orang Belanda, saya ingin menunjukkan bahwa dunia ini sesungguhnya tidak hitam putih. Ada Belanda jahat, ada Belanda baik, ada orang Indonesia jahat, ada orang Indonesia baik. Mereka bersama-sama hidup di satu tempat yang sama, berbagi udara yang sama, berbagi sejarah yang sama, dan membentuk sebuah zaman unik yang disebut ‘zaman kolonial’.
Bila sudut pandangnya diambil dari orang Indonesia, tentu pengalaman batin pembacanya tidak berbeda dengan saat membaca atau menonton film nasional yang selama ini selalu bertabur adegan hitam-putih: Belanda selalu jahat, dan Indonesia selalu baik.
- Siapa atau apa yang mengilhami Mas Iksaka menulis novel sejarah?
Sebetulnya sejak kecil saya sudah gemar membaca fiksi bertema sejarah. Terutama dari seri Elang terbitan Gramedia. Misalnya ‘Kisah Dua Kota’ karya Charles Dickens, ‘The Three Musketeers’ karya Dumas, atau ‘Les Miserables’ karya Victor Hugo. Saya senang membayangkan orang dengan pakaian unik seperti itu pernah berkeliaran di muka bumi. Lalu setelah kuliah, tentu saja saya jatuh cinta pada Pramoedya Ananta Toer.
- Bagaimana menurut Mas terkait dunia ‘novel sejarah’ Indonesia saat ini?
Dalam lima tahun terkahir ini, saya sangat gembira bahwa semakin banyak penulis Indonesia yang mengambil ‘sejarah’ atau ‘sejarah kolonial’ sebagai tema tulisan mereka. Kita tahu, bahwa karena sistem pendidikan yang kaku di tahun-tahun kemarin, maka pelajaran sejarah jarang diminati pelajar dan orang awam. Seolah hanya bicara tentang tahun-tahun dan nama-nama yang tidak punya ikatan emosional dengan hari ini. Padahal mempelajari sejarah penting sekali.
Banyak tragedi di masa lalu yang bisa kita pelajari agar tidak terulang di masa kini. Nah, di tangan para sastrawan, kita bisa berharap materi sejarah yang dingin, kaku, dan berjarak itu bisa diubah menjadi lebih menarik, sehingga memancing minat baca para pelajar dan awam. Setelah terpancing, boleh jadi mereka akan tertarik membaca sejarah dari buku asli yang lebih representatif.

- Untuk menghasilkan karya Mas yang luar biasa itu, berapa buku yang Mas lahap setiap hari atau perminggunya?
Wah, sebetulnya saya baru membuka buku (referensi) saat menulis saja. Jadi banyaknya buku tergantung materi yang ditulis. Tahun 2016 saya menulis novel ‘Sang Raja’, tentang raja kretek dari Kudus, Nitisemito. Karena Nitisemito hidup di antara tahun 1905 hingga 1953, tentu banyak sekali buku yang harus saya baca. Tetapi saat menulis cerpen ‘Stambul Dua Pedang’, saya hanya membaca tiga buku sejarah. Karena ceritanya sederhana.
- Apakah buku yang dibaca selalu terkait sejarah?
Tidak juga. Saya juga membaca komik dan novel nonsejarah. Tetapi porsinya memang berat ke sejarah. Seandainya saya hanya punya uang Rp 100 ribu, lalu di toko buku ada novel dan buku sejarah seharga itu, besar kemungkinan saya akan pilih membeli buku sejarah.
- Pada saat memenangkan Kusala Sastra Khatulistiwa (KSK) 2014, siapa yang pertama kali Mas Iksaka ingat?
Wah…pertanyaan unik. Buku ‘Semua untuk Hindia’ itu memang saya dedikasikan kepada mendiang kedua orangtua saya. Tetapi saya lupa persisnya, siapa yang saya ingat saat mendengar nama saya disebut sebagai pemenang.
- Oya, selamat buat Mas yang kembali memenangkan KSK 2019 dengan Novelnya yang berjudul, Teh dan Pengkhianat. So, apakah Mas sudah menyangka akan mendapatkannya? Dan apa makna/arti dari kemenangan KSK tahun ini bagi Mas?
Saya tidak menduga akan menang. Karena saya pikir tema sejarah kolonial bukan hal unik lagi seperti tahun 2014. Di sisi lain hal itu membuat saya semakin gembira, bahwa fiksi sejarah kolonial yang ditulis dalam diksi sederhana semakin mendapat tempat. Bukan lagi makhluk aneh yang hidup di bawah bayang-bayang kisah-kisah surealis atau prosa liris yang di tahun-tahun sebelumnya banyak mendominasi dunia sastra.
- Adakah pesan untuk para pembaca kurungbuka yang kebanyakan ingin menjadi penulis seperti Mas Iksaka ini?
Apa, ya? Kalau Anda gemar membaca, saya rasa itu sudah langkah awal yang sangat bagus untuk menjadi penulis. Sisanya, barangkali teruslah berlatih menulis. Tidak patah semangat untuk berkarya walau puluhan kali ditolak media massa atau penerbit.
Percakapan kami selesai di sana. Banyak hal yang saya peroleh dari obrolan tersebut. Salah satunya bahwa menjadi penulis harus memiliki misi dalam setiap karya yang ditulisnya.
Saya sangat menyarankan pembaca untuk memiliki buku karya beliau. Kita bisa belajar bagaimana sebuah sejarah bisa dibaca dengan begitu terang sembari menikmati sajian cerita yang setiap karakternya begitu kuat. Wajar bila kemudian buku-bukunya diganjar berbagai penghargaan. (Hilman).