Usia Seto enam tahun saat itu. Sesuatu dilihatnya ketika keluarga besar mengunjungi ayah mereka sepulang beliau dari rumah sakit. Laki-laki tua itu memiliki lima orang anak, empat putra dan seorang putri. Vona, ibu Seto, anak bungsu. Orang tua tersebut mendapat 8 cucu dari lima anaknya. Seto tidak akrab dengan sepupu-sepupunya. Sebagai cucu terkecil, dirinya sering tersisih dari saudara yang lebih tua waktu pertemuan keluarga.
Meski telah berusia lanjut, kakek Seto masih gagah. Kumis dan rambut putih menambah kewibawaannya. Langkahnya cepat dan lincah. Orang tua itu tak memerlukan tongkat untuk membantunya berjalan. Setahun setelah sang istri meninggal, putrinya dilamar orang. Si gadis mengikuti jejak kakak-kakaknya, keluar dari rumah masa kecil. Dua orang pembantu ditugaskan untuk menemani sang ayah.
Setelah beberapa saat berdiam diri mendengarkan percakapan, anggota keluarga yang lebih muda mulai bosan. Anak-anak itu menyingkir diam-diam, menjauhi para orangtua yang masih duduk di dekat sang ayah. Lima menit kemudian mereka semua menghilang, meninggalkan Seto. Bocah itu tak beranjak, tetap duduk di antara kedua orangtuanya. Bergabung dengan para sepupu bukan hal menarik baginya.
BACA JUGA:
Mesin Waktu
Jemu mendengar perbincangan yang tidak dimengertinya, Seto iseng memperhatikan sang kakek. Orang tua itu berbicara dengan gembira, bibirnya menyungging senyum. Terkadang gelak tawanya berderai. Sesaat berselang, Seto tertegun. Bola matanya memandang lekat si kakek. Ia melihat sesuatu yang tak tampak oleh orang-orang dewasa. Entah berapa lama anak itu terpana. Senggolan dari sang mama memalingkan kepalanya ke kiri.
“Jangan menatap Kakek seperti itu, Seto. Tidak sopan,” bisik wanita itu pada putranya.
“Baik, Ma,” sahutnya patuh.
Seto tidak memberitahu apa yang dilihatnya. Anak itu berhenti memandang kakeknya dan asyik menyantap aneka hidangan yang tersaji di atas meja.
Seperti kebiasaannya selama ini setiap keluarga besar datang berkunjung, orang tua itu memberikan uang untuk cucu-cucunya sebelum mereka pulang.
“Ini untuk cucu termuda,” katanya seraya mengangsurkan selembar uang kepada Seto.
Bocah tersebut memandang wajah dengan mulut yang tersenyum ramah. Wajah kakeknya tersayang. Seto tidak melihat lagi apa yang tadi disaksikannya. Ia mengucapkan terima kasih lalu mencium punggung tangan kakeknya.
Orang tua itu melepas kepulangan keluarganya sampai di teras. Vona mendesah sebelum berkata pada ayahnya.
“Aku pasti lebih tenang seandainya saja Ayah mau tinggal bersama kami.”
Yang diajak bicara tersenyum. Ditepuknya tangan putrinya.
“Aku tak ingin pergi dari rumah di mana aku dan ibumu tinggal.”
Vona memakluminya. Wanita itu membalas senyum ayahnya kemudian menuruni teras bersama anggota keluarga lain. Lima keluarga masuk ke mobil masing-masing yang pelan-pelan bergerak meninggalkan halaman rumah. Kaca-kaca jendela mobil turun, cucu-cucu melambaikan tangan pada kakek mereka. Orang tua itu membalasnya sambil tersenyum. Lambaian tersebut baru berhenti ketika mobil terakhir melintasi pagar. Vona menatap ayahnya yang berbalik masuk ke rumah.
“Kita harus lebih sering mengunjungi Ayah. Ayah kesepian,” gumamnya.
Lelaki yang duduk di belakang setir tak menanggapi perkataan istrinya. Diliriknya kaca spion, menegur Seto yang belum menaikkan kaca mobil.
“Tutup jendelanya, Seto.”
Seto segera melakukan perintah ayahnya.
Tujuh hari kemudian keluarga besar itu kembali berkumpul. Kali ini untuk memakamkan sang kakek.
***
Seorang pemuda berbaring dengan mata terpejam. Ia tak tidur. Keningnya berkerut. Alunan musik yang dulu menenangkannya kali ini gagal melakukan tugas. Anak muda tersebut menghela napas, kerut di dahinya makin dalam. Beberapa hari ini perasaannya tertekan tanpa tahu sebabnya. Keresahan yang awalnya berusaha ia abaikan tapi menguat seiring berjalannya waktu.
Bunyi pesan masuk di ponsel membuka mata Seto. Tangan kanannya meraih benda itu lalu membacanya. Sebuah pesan dari rekan kerja yang mengingatkan pekerjaan malam ini. Pemuda itu mendesah. Sebenarnya ia malas, tapi menolak hanya akan mencoreng namanya di mata atasan dan membuatnya kehilangan pekerjaan. Dimatikannya pemutar musik lalu mengganti pakaian dengan kaos dan celana panjang berikut jaket.
Seto keluar dari kamar kemudian mengunci pintu. Sambil menyelipkan anak kunci ke saku celana, ia berjalan menuju lift. Dari jauh terlihat empat orang berdiri menunggu di depan pintu lift yang tertutup; tiga remaja lelaki dengan mata tak lepas dari ponsel di genggaman tangan masing-masing dan seorang pria muda berjas yang tampak gugup. Sesaat kemudian pintu lift terbuka. Seto masuk dan berdiri di bagian belakang, memperhatikan rombongan yang turut masuk bersamanya. Tak seorang pun ia kenal meski mereka menghuni apartemen yang sama.
BACA JUGA:
Mata Kucing
Pintu lift terbuka. Sambil melangkah keluar, Seto melirik arloji di pergelangan tangan. Hampir pukul 11. Pemuda itu berharap bisa pulang sebelum tengah malam. Tangannya masuk ke saku celana, meraba kunci motor. Sesaat terlintas pikiran mengendarai sepeda motor ke kantor yang segera dibatalkan. Seto berjalan ke trotoar, menghentikan taksi yang melintas dan membiarkan kendaraan itu membawanya ke tujuan.
“Pak, sudah sampai,” kata sopir begitu taksi berhenti di depan sebuah gedung.
Seto membayar ongkos taksi lalu keluar dari mobil. Taksi melaju pergi, bersamaan dengan kedatangan sepeda motor yang mematikan mesinnya tak jauh dari tempat Seto berdiri. Si pengemudi turun lalu membuka helm yang menutupi wajahnya.
“Yang lain sudah datang?”
“Mungkin,” sahut Seto, “Aku juga baru sampai.”
Seto membalikkan badan dan menaiki undakan ke teras. Pemuda yang baru tiba mengikuti langkahnya. Empat kepala serentak berpaling mendengar pintu dibuka, menatap sekilas kemudian kembali menekuri pekerjaannya. Kedua anak muda tersebut berjalan menuju meja kerja masing-masing. Seorang gadis muda berpapasan dengan Seto di ujung lorong.
“Belum pulang?” sapanya.
“Baru datang. Kerja malam,” jawab Seto.
“Sendiri?”
“Ada yang lain.”
Ponsel berdering. Gadis tersebut membuka tas, meraih telpon genggam. Ia berpamitan sebelum menerimanya.
“Jemputanku sudah datang. Aku pulang dulu. Selamat malam.”
“Selamat malam.”
Sepeninggal si gadis, pemuda itu membuka jaket kemudian menyampirkannya ke kursi. Pekerjaannya baru selesai beberapa menit lewat tengah malam. Seto bangkit. Sebelum pulang, ia pergi ke kamar mandi untuk mencuci tangan. Tangan yang bersiap memutar keran wastafel berhenti mendadak. Pandangannya nanar ke cermin di depan, menatap sesuatu yang dilihatnya dua puluh tahun yang lalu.