Ketuk lima kali, lalu letakkan tangan kananmu, katakan:
“Aku tahu rahasiamu, biarkan aku melihatnya!”
“Aku tahu rahasiamu, biarkan aku melihatnya,” ucapku.
Kulihat lagi, di kertasnya tertulis tunggu lima detik. Satu, dua, tiga, empat, dan lima. Tidak ada apa pun yang terjadi. Aku ini kenapa? Bisa-bisanya percaya pada tulisan kertas usang ini. Kutarik tanganku dari cermin dan kembali duduk di depan meja belajarku.
“Kau yakin?”
Suara familier. Itu suaraku. Aku kembali beranjak dari kursi dan menuju cermin besar lemari tadi. Bayanganku di cermin berdiri tegap dengan kedua tangan bersilang. Padahal, aku sendiri sedang menyentuh cerminnya. Bayanganku bergerak tanpa mengikuti gerakanku. Dia menatapku aneh sambil memiringkan kepalanya.
“Ini betulan?” tanyaku.
Dia menurunkan tangannya dan berjalan mendekat.
“Kau sendiri yang bilang tahu rahasia kami dan ingin melihatnya. Sekarang sudah melihat, malah kebingungan sendiri,” komentarnya.
Aku berjingkrak sendiri saat petunjuk dari kertas itu benar-benar berhasil. Dari dulu aku penasaran dengan cermin. Apakah itu hanya ilusi atau memang ada dunia di baliknya. Aku mulai bertanya banyak hal kepadanya. Dari mulai hal tidak penting, seperti namanya, sampai ke berbagai pertanyaan tentang dunia cermin.
“Bagaimana orang-orang di sana?” tanyaku.
“Ya, begitu. Semuanya kebalikan dari dunia kalian,” jawab Fia. Namanya sama denganku, tetapi… apa yang dikatakannya itu benar. Aku yang ceria ini sepertinya di dunia cermin menjadi seseorang yang cuek.
“Daripada kau terus bertanya, gimana kalau kita bertukar sebentar? Kau juga pasti akan lebih mengerti. Lagi pula, aku jadi penasaran dengan duniamu setelah melihat makhluk sepertimu,” tawar Fia.
Tadinya aku ingin langsung menyetujui, tetapi aku takut terjebak di sana selamanya.
“Asalkan tidak lebih dari lima belas menit, kau akan baik-baik saja.” Suara Fia menghentikan pikiranku.
Dengan spontan aku langsung mengangguk menyetujuinya. Lagi pula, aku juga memakai jam tangan. Jadi, tidak akan mungkin lupa waktu di sana.
Fia menempelkan telapak tangan kanannya dan menyuruhku melakukan hal yang sama. Lalu, kami berdua menutup mata. Kepalaku merasakan pusing seperti baru saja masuk ke dalam mesin cuci. Merasa sudah cukup, aku memberanikan diri untuk membuka mata.
Semuanya terasa sama. Fia masih ada di depanku. Hanya saja agak dingin di sini. Aku melihat sekeliling, dunia ini agak berwarna biru. Fia mengingatkanku lagi, hanya boleh lima belas menit aku di sini. Aku menuruni tangga dan mencoba keluar dari rumah. Banyak orang, atau lebih tepatnya bayangan, yang berkeliaran di sini.
“Ah, Wanda!” panggilku.
Kali ini aku ingin mencoba sesuatu. Aku akan mencoba mengobrol dengan salah satu bayangan di sini. Wanda yang dalam kehidupan nyata adalah seorang gadis dingin, pemarah, dan mudah tersinggung.
“Fia?!” sapanya balik dengan wajah agak terkejut.
“Tumben memanggilku dengan nama Wanda. Biasanya kau memanggilku ‘kuda lamban’,” lanjutnya lagi.
Aku gelagapan, bingung mau menjawab apa. Sesaat kemudian, Wanda tersenyum curiga kepadaku. Aku sempat ketakutan melihatnya.
“Tukar dunia, ‘kan? Hahaha…! Tenang, nggak usah panik gitu dong. Santai. Mau nanya apa atau mau diantar ke mana? Sama aku aja,” kata Wanda sambil merangkulku.
Aku ikut tertawa melihat Wanda versi dunia cermin ini. Kalau di dunia nyata, mungkin dia sudah membentakku. Lagi-lagi aku mengajukan banyak pertanyaan. Selain itu, Wanda mengantarku ke tempat yang sebenarnya tidak asing lagi bagiku. Sekolah. Semuanya berjalan seperti biasa, mirip dengan di dunia nyata.
Aku mengecek jam tanganku. Masih ada waktu lima menit lagi untuk menjelajahi dunia ini.
“Apa yang sedang kau lihat?” tanya Wanda.
“Tidak ada. Hanya memastikan kalau aku tidak melebihi batas waktu di dunia kalian. Aku hanya punya lima menit lagi di sini.”
“Ah, akan kubantu kau mengingatnya. Oya, ada hal yang perlu kau tahu. Sepuluh menit di jam itu mengikuti waktu dunia ini. Sepuluh menit di sini, sama dengan lima menit di duniamu,” jelas Wanda.
Kalau begitu, sebenarnya aku masih punya waktu 10 menit lagi di sini. Ini akan sangat menyenangkan. Wanda mengajakku berkunjung ke rumahnya. Rasanya agak aneh juga melihat adik Wanda yang asalnya aktif jadi pendiam seperti ini. Aku berbincang-bincang dengan Wanda. Wanda di sini jauh lebih asyik daripada Wanda yang asli.
“Wanda! Buka pintunya!” seru seseorang dari luar rumah.
Wanda berjalan menuju pintu depan. Aku mengikutinya dari belakang. Saat Wanda membuka pintunya, seseorang yang memiliki penampilan dan wajah persis sepertiku berdiri di depannya. Bayanganku sendiri yang berkunjung ke sini.
“Fia! Kau melebihi batas waktu!” seru Fia, bayanganku.
“Apa maksudmu? Kata Wanda di dunia ini waktu berjalan dua kali lebih lambat,” aku membantah. Aku masih ingin di sini bersama Wanda.
Dengan wajah kesalnya Fia menarikku paksa. Aku tak punya pilihan lain selain mengikutinya hingga kami tiba di tempat awal. Fia menyuruhku untuk meletakkan tangan kiri di cermin, mengulang ucapannya, dan menutup mata selama lima detik.
“Satu, dua, tiga, empat, lima,” hitungku. Kubuka mata dan semuanya tampak sama. Kulihat sekeliling, dunia ini tidak bernuansa biru. Berarti aku sudah kembali.
Jam dinding menunjukkan hal yang berbeda. Memperlihatkan bahwa aku ada di dalam dunia cermin selama dua puluh menit! Ah, aku lupa sifat asli Wanda. Semenyebalkan apa pun Wanda asli, dia tidak pernah berbohong. Kalau begitu, Wanda di cermin itu berbohong kepadaku.
“Tapi tidak terjadi apa-apa kalaupun aku melebihi batas waktu. Si Fia itu pasti hanya bergurau,” gumamku.
Kulihat lagi cermin, bayanganku bergerak seperti semula. Aku coba menerapkan cara tadi, tetapi tidak ada yang terjadi. Sepertinya cara ini hanya bisa dipakai satu kali.
Apa yang akan kulakukan sekarang? Lebih baik aku keluar dari sini dan mencari udara segar di luar. Kuganti pakaianku, aku akan pergi ke taman menemui temanku.
“Fia! Mau ke mana? Boleh aku ikut?” seru Wanda yang tiba-tiba ada di belakangku.
“Tumben sekali. Ayo ikut!” Lalu aku menggandeng tangannya.
Plak! Tanganku ditepis olehnya.
“Apa kau sudah tidak waras? Berbicara sendiri lalu tiba-tiba mengajakku pergi?!” bentaknya.
“Kenapa kau menyalahkanku? Jelas-jelas kau yang memin—”
Mulutku berhenti berkata saat tiba-tiba aku melihat seperti ada bayangan. Wanda ada dua. Satunya sedang tersenyum padaku, satunya lagi sedang menatapku aneh. Apa mungkin ini karena dunia itu?
***
“Apa ini tidak keterlaluan?” tanya Fia kepada Wanda yang sedang tersenyum bahagia.
“Keterlaluan gimana maksudmu? Itu satu-satunya cara untuk kita bisa menguasai dunia mereka. Pada waktunya, kembaranmu yang di sana itu akan memberi tahu orang lain dan semakin banyak yang akan melakukan pertukaran ke sini,” jelas Wanda tanpa mengalihkan pandangannya dari komputer pengendali bayangan.
“Bukankah kita semua sudah cukup lelah mengikuti mereka? Sekarang saatnya mereka yang mengikuti kita.”
“Kau benar.”[]