Menjadi manusia normal di tengah masyarakat barangkali bukanlah sesuatu yang diinginkan bagi kebanyakan orang, sebab kuantitas manusia yang dianggap normal memang sudah menjadi mayoritas. Namun itu tidak berlaku bagi Keiko Furukura yang sejak kecil sudah dianggap agak berbeda (baca: aneh) bagi keluarga, teman-teman dan para guru di sekolahnya, terutama dalam cara berpikir dan bersikap.

Misalnya ketika dua teman sekolahnya berkelahi saat jam olahraga, teman-temannya yang lain berteriak dan ingin agar perkelahian itu dihentikan dengan segera. Seketika Furukura mengambil sekop lalu memukulkannya ke kepala salah satu temannya yang sedang berkelahi itu. Akibatnya, ibunya dipanggil ke sekolah dan ia memasang wajah malu. Furukura merasa bersalah, tapi tak paham alasannya.

Mengetahui hal tersebut, keluarganya sadar ada yang tak beres dengan Furukura, kemudian mereka berupaya untuk menyembuhkannya ke psikiater, karena khawatir akan kehidupan Furukura di masa depan. Beruntung, saat kuliah tingkat satu gadis itu diterima bekerja di sebuah minimarket baru yang bernama Smile Mart Stasiun Hiiromachi sebagai karyawan paruh waktu. Keluarganya senang.

Di minimarket, ia merasa diterima. Ia berperan menjadi pegawai minimarket dengan baik. Di sana ia dipandang dan dibutuhkan untuk melayani pelanggan yang datang dan membantu para pegawai lain untuk mencapai target harian di minimarket itu. Tak ada status apa pun kecuali pegawai minimarket. Dengan begitu ia menjadi bagian masyarakat dan keberadaannya berguna bagi orang lain. Dan akhirnya, bekerja sebagai pegawai minimarket menjadi bagian dirinya seutuhnya hingga 18 tahun kemudian.

Lewat tokoh Furukura dalam light novel yang berjudul Gadis Minimarket (Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 2022), Sayaka Murata sebagai penulis berhasil menyajikan cerita keseharian yang ringan namun mengoyak alam pikir kita tentang pemahaman manusia normal dan abnormal beserta relasinya dengan masyarakat. Di sisi lain, pemahaman dan definisi terkait masyarakat normal itu dipertanyakan ulang.

Salah satu hal yang cukup menohok dalam novel dengan judul asli Konbini Ningen itu ialah pemahaman kita terhadap manusia dan masyarakat normal itu sendiri. Ternyata, di dalam diri masyarakat yang dianggap normal itu tersimpan ketaknormalan (abnormality). Bagaimana tidak, manusia normal dan masyarakat normal ternyata sangat suka untuk mencampuri urusan orang lain? Mereka berpikir dan berkomentar seolah-olah mereka yang lebih tahu atau mungkin paling tahu tentang kehidupan orang lain.

Apakah mencampuri kehidupan orang lain itu merupakan sebuah kenormalan? Atau jangan-jangan itu sesuatu yang hakikatnya tidak normal, abnormal, namun karena diidap oleh mayoritas, sehingga itu dianggap normal?! Itu seperti kejahatan yang dilakukan secara berjamaah oleh mayoritas orang dalam kelompok masyarakat tertentu, sehingga dilegitimasi sebagai hal yang wajar dan menjadi kebenaran dan normal!

Karena hidup bersama orang-orang normal di tengah masyarakat normal, siklus atau pola kehidupan normal pun terbentuk: bersekolah, bekerja, menikah, beranak-pinak, membangun rumah, menjadi tua dan menunggu mati. Jika salah satunya terlewati atau tak terlaksana, maka si pelaku akan dicap abnormal dan pastilah dijauhi masyarakat, tidak diakui keberadaannya. Sebuah hukum rimba yang nyata di tengah-tengah kehidupan manusia zaman modern.

Celakanya, ketika Furukura yang masih bekerja paruh waktu sebagai pegawai minimarket dan sudah berusia 36 tahun namun masih lajang mengikuti pola kehidupan normal itu, ia malah kehilangan dirinya yang sejati. Ia awalnya mengajak Shiraha, mantan pegawai minimarket di tempatnya bekerja yang dipecat karena tak becus bekerja untuk tinggal bersamanya agar mendapat pengakuan dari keluarga dan teman-temannya sebagai manusia normal. Shiraha yang tak mau bekerja dan hanya menjadi parasit bagi Furukura sebenarnya hanya sedang melarikan diri dari lilitan hutang. Kabar itu pun tersebar dan perlahan-lahan sikap para pegawai minimarket di tempat Furukura bekerja berubah drastis. Mereka menjadi lebih sering membahas kehidupan pribadi Furukura, tinimbang bekerja secara profesional.

Seketika ia merasa kehilangan rekan kerja dan teman-temannya karena terlalu banyak mengikuti omongan mereka dalam menjalani kehidupan. Ia pun berhenti bekerja paruh waktu dan mulai kehilangan keluarganya sekaligus dirinya sendiri. Ia tak mendapati ketenangan hidupnya seperti saat ia pertama kali bekerja sebagai pegawai minimarket.

Dari novel setebal 160 halaman itu kita bisa banyak belajar sekaligus mempertanyakan ulang tentang definisi dan batas-batas kenormalan dalam kehidupan diri kita sendiri dan masyarkat. Dan juga, kita menjadi tahu bagaimana cara menjalani dan menikmati kehidupan yang berjalan secara (tak) normal ini.