Kau tak akan mengerti kaitannya bom dengan kopi sebelum menyimak kisahku ini:

Aku duduk di sebuah kafe yang sempit. Jika ada minimal lima puluh pemesan, bisa dipastikan kafe ini tidak muat. Seorang pelayan mendekatiku dan bertanya aku mau pesan apa. Ah, kejadian yang sebenarnya tidak seperti ini. Yang benar adalah, sebelum duduk, aku ke kasir dan memesan secangkir kopi.

            Aku duduk di sebuah kafe yang sempit dan beberapa lama kemudian, secangkir kopi yang kupesan datang. Aku tersenyum sebentar untuk kemudian kembali suntuk dengan layar ponsel. Ada berita mencengangkan di luar sana, dari layar ponselku aku tahu itu. Sebuah bom panci meledak di sekitar halte.

            Aku duduk di sebuah kafe yang sempit. Tetapi, jika kau menganggap aku bosan dengan tempat yang sempit ini, maka kau salah besar. Sebab, aku sedang berada di luar. Sedang melihat kejadian yang mencengangkan: sebuah bom dari panci meledak dan orang-orang sibuk membuat liputan, entah untuk siapa, barangkali untuk dirinya sendiri.

            Bom itu meledak sehari yang lalu. Tetapi aku baru tahu hari ini. Itu gara-gara selama sehari penuh aku tidak memegang dan tidak bersinggungan dengan barang elektronik apa pun. Kejadian itu terletak di halte yang jaraknya hampir seratus kilometer dari sini. Tetapi aku merasakannya di sini.

            “Bangsat!” rutukku kemudian. Aku mengira, ini pasti ulah teroris. Anjing memang. Kututup ponsel dan dari saku kukeluarkan rokok. Aku menyulut rokok itu dan merasakan bahwa dunia ini memang sempit. Kafe ini memang sempit. Hanya ada beberapa orang saja yang sibuk dengan ponselnya masing-masing.

            Aku sendirian di sini dan di depanku ada secangkir kopi yang belum kubuka tutupnya. Sekarang aku membukanya dan mencium aroma kopi. Aku seruput sedikit dan tidak ada yang kurasakan kecuali kopi ini pahit. Dunia ini pahit. Semua membosankan. Kau benar jika menganggap aku bosan dengan tempat ini.

            Di tengah kebosananku itu, kulihat Mat Kopleng mendekatiku. Sudah lama aku tidak melihat hidung jambunya. Kini, rambutnya semakin gondrong dan tampaknya dia sudah benar-benar menjadi aktivis. Satu hal yang membuatnya tampak aneh di mataku: nada bicaranya makin pelan. Lirih. Seperti tanpa tenaga. Atau? Atau apa?

            Itu kutahu ketika ia menyapaku dan duduk di hadapanku. Ah, tidak-tidak. Ia duduk di hadapan meja yang ada di depanku. Apa itu namanya juga di hadapanku? Lupakan. Yang jelas, nada bicaranya semakin lirih. Tidak seperti Mat Kopleng yang kukenal.

            “Ada berita apa hari ini, Bung?” tangannya meraba bungkus rokokku. Ia mengambilnya sebatang dan menyulutnya dengan korek yang ia ambil dari saku kiri bajunya. Hal seperti ini sudah pernah terjadi sebelum-sebelumnya. Sebelum-sebelumnya lagi. Sebelum-sebelumnya lagi dan lagi. Seperti Mat Kopleng biasanya. Biasanya juga, Mat Kopleng tidak akan menanyakan kabar. Ia langsung ke inti pembicaraan.

            “Bom panci. Meledak. Di halte.”

            “Sudah kuduga.” Ia mengembuskan asap rokoknya. Memutar-mutar batang rokok di sela-sela jarinya. Seperti Mat Kopleng biasanya. Sudah kukatakan sebelumnya, yang tidak biasanya adalah nada bicaranya makin lirih. Seolah-olah ia sedang merahasiakan sesuatu. Seolah-olah ia sedang dimata-matai seseorang. Dan, ia tidak mau apa yang ia bicarakan itu terdengar oleh orang lain selainku.

            “Kamu sudah tahu?” ini pertanyaan tolol menurutku. Apalagi, pertanyaan ini kutujukan kepada Mat Kopleng, yang senyata-nyatanya adalah orang yang tidak akan ketinggalan berita termutakhir. Ia seperti pengamat peristiwa.

            “Hmmm.”

            “Menurutmu, kenapa ada bom panci di halte?”

            “Hmmm.”

            Ia cuma mengangguk-anggukan kepala. Itu tindakan yang membosankan. Apakah tidak ada tindakan lain yang lebih berfaedah?

            “Menurutmu, siapa pelakunya? Kamu bilang ‘hmmmm’ lagi, kumandiin pakai kopi ini. Atau… kulempar mukamu dengan asbak?”

            Ia melirikku. Tajam. Dingin.

            “Memangnya aku harus tahu Kim Jong Un sedang berak di mana sekarang? Memangnya aku harus tahu Elon Musk sedang apa sekarang? Memangnya aku harus tahu segalanya, termasuk pelaku bom panci?”

            “Aku suka kamu bilang seperti itu.”

            “Masalahnya aku sedang tak ingin bicara saat ini.”

            “Tak semua orang suka berdiam diri seperti itu kalau berhadapan dengan orang lain yang sedang mengutarakan pertanyaan.”

            “Kamu diam atau aku akan pergi?”

            “Kamu bicara atau rokok di mulutmu aku ambil lagi?”

            Kami berhenti membicarakan bom panci. Ia memilih diam dan aku tidak tega menyita rokok dari mulutnya. Ia begitu antusias mengisap. Aku hanya memandanginya dari ujung sepatu sampai ujung rambutnya. Ada yang aneh? Tidak ada. Ia diam seperti biasanya. Mulutnya tanpa membuka dan tanpa mengeluarkan suara. Ia membuka mulut hanya ketika mau mengisap rokok dan mengeluarkan asap. Itu sewajarnya orang merokok. Dari arah samping, ia mirip Jason Ranti ketika menyanyikan lagu Bahaya Komunis. Kumisnya yang tipis itulah yang paling mirip, setidaknya menurutku.

            “Kamu tadi dari ma…” suaraku terpotong oleh suara dari mulut orang yang baru saja masuk dari pintu kafe.

            “Jangan bergerak!”

            Ia baru masuk dan menodongkan pistol. Itu ditunjukkan ke arah kami, orang-orang yang sedang menikmati kopi. Sombong sekali. Orang baru masuk dan dengan tidak sopan menodongkan pistol. Ada apa ini?

            “Salah satu di antara kalian ada yang kami incar!” Teriak salah satunya yang ternyata baru masuk ke kafe.

            Siapa? tanyaku dalam hati.

            “Diam semua!”

            Kami dari tadi hanya diam, tolol! ucapku sekali lagi dalam hati. Memang, kebanyakan orang-orang berseragam itu tolol. Aku pernah melihat orang berseragam yang biasanya mengatur orang-orang agar menaati rambu-rambu lalu lintas, tapi dirinya sendiri ngacir sebelum lampu hijau menyala.

            Dua orang itu, dengan masing-masing membawa pistol, menujuku. Ah, rupanya tidak. Ia menuju ke arah Mat Kopleng. Ada masalah apa orang-orang ini dengan Mat Kopleng?

            Mat Kopleng tidak melawan sama sekali ketika dua orang itu memborgol tangannya.

            “Kami mengincar orang ini.” gumam salah satu dari mereka. Aku lihat persis, ia, rambutnya yang pendek, seperti perawakan sipir, mukanya merah padam. Apa yang membuat warna mukanya menjadi seperti itu. Kemarahan? Kemarahan macam apa yang bisa membuatnya seperti itu? Apakah kemarahan mampu mengubah warna wajah?

            “Mat?” aku mengucapkan satu kata itu ketika Mat Kopleng belum benar-benar dibawa pergi orang-orang ini.

            Ia malah tersenyum dan aku tidak mengerti apa maksud ia bertingkah seperti itu. Orang-orang di sini membisu semua dan aku yakin tidak ada yang mengerti duduk masalahnya, seperti halnya aku.

            Suasana mencekam itu pergi ketika dua orang dan Mat Kopleng pergi dari sini. Orang-orang bingung dan saling bertanya ke satu dan ke yang lain tentang apa yang terjadi sebenarnya. Sebagai orang yang duduk bersama Mat Kopleng, akulah orang yang paling banyak menerima pertanyaan. Kalau kutulis di sini, yang terbanyak dari pertanyaan itu adalah:

  1. Apa yang sebenarnya terjadi?
  2. Siapa orang yang ditangkap tadi?
  3. Kenapa bisa seperti itu?

Sebenarnya, ada pertanyaan-pertanyaan lain. Akan tetapi, itu tidak masuk daftar, karena terlalu sedikit penanyanya. Aku tidak bisa menjawab pertanyaan yang pertama, atau yang paling banyak ditanyakan. Aku tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Pertanyaan yang kedua, aku bisa menjawab. Itu Mat Kopleng, temanku. Pertanyaan ketiga, sama seperti pertanyaan pertama. Aku tidak bisa menjawabnya. Itu adalah tindakan bodohku selama ini. Kenapa bisa seperti itu? Dan memang aku tidak tahu.

Sebenarnya, ini yang paling bodoh dari tindakanku yang terbodoh. Kenapa aku tidak mengikuti Mat Kopleng dan dua orang tadi?

Karena ingat hal itu, aku bergegas pergi mengejar mereka. Kutinggalkan kopiku. Kutinggalkan … ah, tidak jadi. Rokokku masih banyak. Tidak mungkin kutinggalkan. Tetapi, sayang sekali. Ketika aku keluar dari kafe, mereka sudah tidak bisa kulihat lagi. Barangkali mereka telah naik mobil. Aku membuka ponsel. Ada berita tentang penangkapan teroris di sebuah kafe. Begitu cepat dunia meliputnya. Begitu cepat arus informasi berjalan hari ini.

**

Aku duduk di sebuah kafe yang sempit dengan perasaan campur aduk. Kopi sudah di hadapanku dan aku tidak terlalu menikmati itu. Bagaimana kabarnya Mat Kopleng? Memang, aku tidak terlalu dekat dengannya. Kami hanya orang yang dipertemukan di kampus dalam acara pembukaan festival sastra. Ia, waktu itu, membaca puisi Widji Thukul. Aku suka puisi. Itulah kenapa akhirnya kami berkenalan. Kami menyulut rokok bersama sambil bercerita mengenai puisi dan hal-hal yang bisa dilawan dengan puisi. Klise memang. Tetapi, itu menyenangkan.

            Sejak saat itu, kami sering bertemu, meski tak sering bersama. Aku jadi kepikiran ketika ia ditangkap dan dianggap sebagai teroris. Apakah benar ia teroris? Setahuku, ia adalah orang-orang yang tidak suka dengan kaum-kaum nganan itu. Ya, mungkin bisa saja seseorang berubah seiring berjalannya waktu.

            Aku menyulut rokok bertepatan dengan seorang yang masuk kafe. Ia adalah Mat Kopleng. Ia tidak menyapaku. Ia tidak bicara sedikit pun dan itu membuatku bingung.

            “Mat?” aku memanggilnya, dan itu sia-sia. Ia mengambil rokokku dan menyulutnya. Seperti kejadian yang biasa terjadi.

            Aku masih menatapnya dengan bingung. Ya, kenapa ini bisa terjadi?

            “Mat… apa yang sedang terjadi?”

            Mat Kopleng hanya diam. Diam dan diam. Dan, karena itulah aku mengabaikannya. Mungkin ia butuh kesunyian. Mungkin ia butuh kekosongan untuk menenangkan dirinya dari kejadian yang dialaminya.

            Aku membuka ponsel dan membaca berita yang itu membuatku bertanya-tanya kepada diri sendiri, apa yang harus aku lakukan? Sedih atau malah senang? Berita itu jelas mengatakan, seorang teroris berusaha melarikan diri dan seorang berseragam menembaknya dari belakang ketika ia lari. Tembakan itu tepat mengenai kepala teroris itu.

Jadi…[]

Jogja, 2017-2020

*) Image by istockphoto.com