Pagi itu, selepas mandi dan sarapan, aku bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah. Tidak seperti hari-hari sebelumnya, kali ini dan mungkin seterusnya, aku tidak lagi diantar oleh sopir pribadiku. Aku harus mulai naik bus sekolah untuk ke sekolah.

Seraya menunggu bus sekolah datang, aku menyempatkan diri untuk membuka-buka buku pelajaran. Saat itu halte tidak begitu ramai, sehingga aku pun cukup leluasa untuk duduk.

Baru beberapa halaman aku baca, terlihat dari tempatku duduk, seorang ibu menenteng belanjaan di seberang jalan. Tampaknya ia ingin menyeberang ke arahku. Aku pun bergegas mendatanginya. “Bu, boleh saya bantu membawakan belanjaannya?”

Ibu itu pun mengangguk dan tersenyum lebar. Tanpa pikir panjang aku langsung membawakan belanjaannya hingga ke halte seberang jalan tempatku duduk tadi.

Baru saja sampai di trotoar, bus sekolah datang. Tanpa berkata apa-apa lagi pada ibu tadi, aku langsung bergegas naik ke bus.

Pertama kali aku naik bus sekolah ini terasa kurang nyaman. Beberapa teman memandangku dengan sedikit heran. Mungkin karena sebelumnya aku tidak pernah sekali pun naik bus sekolah.

Aku pun mencari kursi yang masih kosong. Tiba-tiba salah seorang teman memanggil untuk mengajakku duduk di kursi sebelahnya yang masih kosong.

“Kok tumben banget kamu mau naik bus sekolah? Biasanya diantar sama sopir pribadi.”

“Iya, sopir pribadiku udah nggak kerja lagi,” jawabku.

“Oo… begitu. Baguslah, aku jadi ada temen ngobrol di bus,” sahutnya, sambil tertawa.

Baru sekian menit rasanya aku duduk di bus, ternyata bus sudah sampai di sekolah. Turunlah aku bersama teman-temanku dari bus untuk melanjutkan aktivitas di sekolah.

Keesokan harinya, di halte yang sama, dengan tujuan yang sama juga seperti kemarin, yaitu menunggu bus sekolah datang agar aku bisa berangkat sekolah. Halte pun masih tampak tidak begitu ramai seperti kemarin. Namun, terlihat lebih awal ibu yang kemarin. Masih dengan belanjaan yang dijinjingnya.

Aku pun mendatanginya untuk yang kedua kali. “Bu, boleh saya bantu bawakan belanjaannya?” tanyaku seperti kemarin.

Lagi, ibu itu pun hanya mengangguk dan tersenyum.

Karena bus sekolah datang lebih awal beberapa menit, aku langsung bergegas membawakan belanjaan ibu itu ke halte tempatku menunggu bus. Bus hampir berangkat. Aku langsung saja naik ke bus sekolah.

Saat dalam perjalanan, terlintas pertanyaan di benakku, sudah dua kali aku membantu ibu itu, tetapi kenapa dia tidak mau berbicara sepatah kata pun? Bahkan untuk mengucapkan terima kasih saja kepadaku tampaknya dia enggan. Kalau begitu, jika besok aku bertemu dia lagi, aku tidak akan membantunya. Sekalipun dia meminta tolong. Aku kesal.

Di pagi berikutnya, di halte yang sama, dengan tujuan yang masih sama juga, yaitu menunggu bus sekolah datang. Terlihat kembali untuk ketiga kalinya, ibu yang kemarin, masih dengan belanjaan yang dijinjingnya. Namun, kali ini belanjaannya terlihat lebih banyak dan lebih berat. Terlintas ingin membantu, tetapi teringat apa yang telah terjadi kemarin. Akhirnya aku hanya memperhatikan ibu itu saja, yang tampaknya cukup kesulitan.

Dengan susah payah dia menjinjing belanjaannya untuk menyeberang. Langkahnya sedikit terseret, mungkin karena beratnya belanjaan yang dia bawa. Begitu ibu itu sampai di trotoar dekat halte tempatku duduk, dia terjatuh bersama barang belanjaan yang dibawanya.

Aku terkejut, tetapi tetap saja tidak beranjak dari tempatku, walaupun aku cukup iba melihatnya. Kemudian ada seorang wanita berseragam kantoran mendekati ibu itu untuk membantunya.

“Dek, sini bantuin dong. Nggak pekaan banget sih…,” teriak wanita itu kepadaku.

“Males laah, Mbak. Udah dua kali saya bantu ibu itu, sekali pun dia nggak berterima kasih,” sahutku yang masih saja tidak mau beranjak dari tempatku duduk.

Tiba-tiba saja ibu itu menggerak-gerakkan tangannya seperti sedang menggunakan bahasa isyarat. Dia tetap tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Aku dan wanita tadi sontak terkejut. Aku pun perlahan mulai mendekat ke tempat ibu itu terjatuh.

“Ibu nggak bisa bicara?” tanya sang wanita kepada ibu tersebut.

Ibu itu hanya mengangguk sambil sesekali menatap ke arahku. Dengan rasa bersalah, aku pun hanya terdiam dan terpaku melihat apa yang terjadi akibat kebodohanku.[]