Desember yang dingin dan beku membuat wanita itu mengenakan pakaian tebal. Rambut pirang menyalanya dibiarkan tergerai dan tak ditutupi topi rajut. Di lehernya terkalung syal yang warna oranyenya sudah begitu pudar. Dia membenamkan kedua tangan ke saku jaket peach-nya. Tak dihiraukannya pandangan orang-orang yang menatapnya tajam seakan-akan mereka sedang berkata, “Bedebah!” Wanita itu terus berjalan, langkahnya cepat menuju minimarket. Diambilnya sebotol alkohol, sebungkus rokok, dan pemantik bertuliskan Manhattan, kemudian dia menuju kasir untuk membayar barang pilihannya tersebut.

Aku memperhatikan wanita itu dengan saksama. Melihatnya membawa kantung plastik putih berlogo minimarket yang baru ditinggalkannya, setengah berlari menuju sedan kuning yang terparkir di tepi jalan—yang bumper belakangnya agak penyok dan terdapat goresan panjang.

Pintu mobil terbuka.

Jeni, gadis kecilku yang sudah sangat tinggi, masuk ke dalamnya. Tak lama setelahnya, mobil melaju dengan kecepatan normal. Melenyapkan Jeni dari pandanganku. Jeniku yang malang.

***

“Aku akan pergi,” pamit Jeni.

Aku tak menyahut sampai akhirnya mendengar suara langkah kaki menjauh disusul suara derit engsel pintu berkarat. Kurasa keputusannya sudah bulat. Telah lama dia ingin meninggalkan rumah ini beserta kenangan di dalamnya yang makin hari kian menyesakkannya.

Jeni pergi, bersama seseorang. Benar-benar pergi tanpa menunggu jawaban dariku terlebih dahulu. Melewatiku yang tiduran di sofa sambil memunggunginya. Sejak saat itu Jeni tak pernah menginjakkan kakinya lagi di rumah.

***

Ini tahun kesepuluh sejak Jeni meninggalkan rumah. Dari kabar yang kudengar, dia bekerja di sebuah bar kecil di kota. Aku bergegas ke sana setelah mendapatkan alamat tempat kerjanya. Rindu ingin melihat seperti apa gadis kecilku itu. Gadis kecilku yang hobi merengek karena lapar jika aku sedang sibuk menulis. Gadis kecilku yang bercita-cita menjadi seorang seniman jalanan. Gadis kecilku yang rewel minta didongengi sebelum tidur. Aku rindu Jeniku. Namun, sayangnya, kerinduan itu seperti kayu yang terbakar api. Merah menyala, lantas menjadi abu.

“Jeni, ada yang mencarimu,” bisik seorang wanita berambut pendek yang memakai tank top dan celana jin sepaha.

Jeni mengangguk. Matanya menatap ke arahku yang berdiri tak jauh darinya. Terkesan agak berat, kakinya melangkah menghampiriku, bukan, Jeni melewatiku. Dia malah menghampiri seorang pria berjas dan pergi begitu saja. Tanpa menyapaku.

***

Aku berkeliling, melihat seluruh ruangan. Jeni tidak akan pulang. Tidak akan pernah pulang. Namun, aku tidak akan menjual rumah ini meski kulihat ada yang hendak membelinya dengan harga tinggi. Aku pergi ke sofa dan berbaring memunggungi pintu ruang kerjaku. Berbaring sama seperti saat Jeni pergi meninggalkan rumah ini. Aku masih enggan mengingat bagaimana wajah sendu milik Jeni.

“Papa, aku lapar,” rengeknya waktu kecil dulu. Ketika dia masih berusia lima tahun.

“Apa kamu tidak bisa diam, aku sedang menulis!”

Jeni menangis. Ingin ke kamar mamanya, tetapi kamar itu kosong. Aku lebih banyak menghabiskan waktu di ruang kerja, sedang mama Jeni pergi dua tahun lalu bersama pria lain. Bosan hidup melarat, dalihnya. Jadilah Jeni hanya menangis di dekat kakiku, memegangi perutnya sambil berkata lapar, bertanya terus, “Kapan kita makan?”

Muak aku dibuatnya. Semakin dia bertanya, maka semakin buntu pula otakku. Tak ada yang bisa kutulis. Tak ada juga uang yang dapat kuberikan untuknya agar dia pergi membeli makanannya sendiri. Jeni masih menangis, dan aku mengusirnya keluar dari ruang kerjaku

“Sudah kubilang jangan menggangguku saat bekerja! Kalau kamu tidak bisa diam, tidak ada makan hari ini!”

Hening. Jeni tidak lagi menangis. Hanya suara sengguknya saja yang masih menyelusup ke telinga, sedang aku menjambak rambutku keras. Berpikir, apa yang harus kutulis agar bisa memberi makan gadisku yang cengeng itu.

***

Tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Aku kembali datang ke bar tempat Jeni bekerja, tetapi Jeni masih enggan menghampiriku. Menatapku saja dia tidak sudi. Mungkin saat dia meninggalkan rumah, dia sudah memutuskan untuk tidak lagi mau mengingatku, mengenaliku atau apa pun yang berhubungan denganku. Sebegitu bencinya dia terhadapku. Sebegitu muaknya dia terhadap kehidupan payah yang kuberikan kepadanya.

Aku terdiam. Tidak menyapanya. Membiarkan Jeni yang berpakaian mini di saat musim dingin begini lagi-lagi melewatiku dan menghampiri pria berjas yang sudah menunggunya di pintu masuk. Kemudian Jeni pergi, naik mobil mewah dan lenyap dari pandanganku.

***

Sepertinya Jeni belum menikah. Pria itu berbeda dengan pria yang biasa menjemputnya di bar. Mobilnya juga bukan mobil yang dulu Jeni tumpangi saat pertama aku datang ke barnya atau mobil yang menunggu di dekat minimarket. Di dalam kamar, setelah selesai bergumul, wajah pria yang bersama Jeni berubah kaku saat dering telepon pecah di antara napas mereka yang masih belum teratur.

Pria itu menyambar ponselnya, menjawab telepon sambil buru-buru memakai kembali satu per satu pakaiannya—yang dilepasnya setiba di kamar hotel ini dan berserakan di lantai, sofa, juga di kaki ranjang.

“Aku baru saja keluar dari ruang meeting,” ucap pria itu kepada seseorang di seberang sana.

“Iya, aku akan segera pulang. Kamu ingin dibawakan sesuatu?”

“Baiklah, kalau begitu sampai bertemu di rumah.”

Pria itu menutup ponsel, berdecak sebal. “Bodoh, kenapa aku tidak mematikan ponsel di saat seperti ini!” gerutunya sendiri di depan cermin sambil membenarkan kerah kemejanya.

Di ranjang, Jeni berbaring tenang. Menjadikan tangan kanannya sebagai bantalan. Matanya terpejam.

“Mari, aku antar,” ajak pria itu yang sudah selesai merapikan penampilannya.

“Aku akan pulang nanti, setelah membersihkan diriku.”

Jeni masih begitu tenang. Pakaiannya tetap dibiarkan berserakan. Dia memilih memejamkan mata dan menutupi tubuhnya dengan selimut. Sampai pria itu pergi, barulah Jeni membuka mata. Bergegas ke kamar mandi, menatap dirinya sendiri di cermin dengan tatapan jijik, kemudian menyalakan shower dan meringis di bawah kucuran airnya.

***

Aku duduk di belakang meja kerjaku. Menatap kertas dan pulpen seperti dulu, saat Jeni masih berada di rumah ini. Aku hendak menulis surat yang bukan untuk siapa-siapa. Sudah lama sekali rasanya aku tidak menulis, mungkin sejak kepergian Jeni. Padahal, untuk menghidupi Jeni dan diriku sendiri, menulis adalah cara satu-satunya. Satu-satunya penghasilan yang bermuka muram bagi Jeni.

Aku ingat, meski Jeni begitu cengeng, saat malam, dia menjadi sosok yang periang. Kala aku mendongeng untuknya, dia akan mengabaikan perutnya yang terus berbunyi karena belum terisi makanan.

“Ceritakan kepadaku, Papa. Apa yang terjadi dengan gambar-gambar Peter di jalan?” serunya saat aku membahas tentang cita-citanya. Dia tampak bersemangat memintaku melanjutkan dongeng yang sempat tertunda lantaran dia sudah terlelap pada malam sebelumnya.

“Gambar itu hidup. Warna-warni di jalan membuat kota tidak lagi suram. Tidak hanya ada hitam dan putih. Pohon-pohon mulai hijau warnanya. Langit menjadi biru. Bahkan rumah Peter bercat oranye dengan genting cokelat.”

“Apa gambar-gambarku akan hidup jika aku melukis jalanan?”

“Tentu. Dia bisa menjadi apa pun yang kamu inginkan.”

“Apa pun?”

Ya, apa pun. Setidaknya begitulah yang masih aku yakini saat memegang pulpen dan menatap kertas kosong di hadapanku. Jeniku bisa menjadi apa pun, termasuk wanita panggilan seperti pekerjaan yang ditekuninya saat ini guna melunasi utang-utang minum dan judiku yang menggunung.

Entah apa yang harus kutulis. Tidak ada cerita. Tidak ada uang. Tidak ada perut kosong yang akan diisi. Tidak ada Jeni di rumah ini. Maka aku hanya akan menulis sepucuk surat yang tidak kutujukan untuk siapa-siapa walaupun untuk Tuhan. Ah, tidak ada Tuhan. Dia bahkan tidak menjaga Jeniku saat mata orang-orang menatapnya hina lantaran kematianku.[]

Jakarta, Januari 2019