Situs dan peninggalan bersejarah sering kali dapat kita nikmati dari dua sisi sekaligus: keindahan wujudnya, juga nilai sejarahnya. Mengunjungi kawasan Banten Lama, kita tak hanya dibuat takjub oleh indahnya arsitektur masjid dan menaranya, tetapi juga turut meresapi keteguhan Kesultanan Banten dalam melawan Belanda. Perlawanan itu harus dibayar mahal: sultan dan keluarganya diasingkan, sementara bangunan keraton dibumihanguskan.

Kompleks Masjid Agung Banten Lama tak pernah sepi. Ada saja pengunjung yang hilir mudik berziarah ke Makam Sultan Maulana Hasanuddin, menunaikan salat, atau sekadar duduk-duduk di serambi masjid. Sultan Maulana Hasanuddin merupakan raja pertama Kesultanan Banten. Dia adalah anak dari Sunan Gunung Jati, salah satu anggota Wali Sanga, penyebar Islam di Jawa. Sunan Gunung Jati diutus oleh Raden Patah, Raja Demak untuk mengislamkan wilayah barat Pulau Jawa.

Kompleks Masjid Agung Banten Lama yang terletak 12 kilometer di utara Kota Serang, Provinsi Banten, merupakan situs peninggalan Kesultanan Banten yang masih utuh berdiri. Situs lainnya, seperti Kompleks Keraton Surosowan dan Keraton Kaibon tinggal puing-puing.

Bekas dua keraton ini memperlihatkan ganasnya perusakan yang dilakukan oleh Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels, tak lama setelah Sultan Banten menolak mendukung proyek pembangunan Jalan Anyer-Panarukan. Kompleks keraton diserang dan dirusak, sementara sultan dan keluarganya ditahan dan dibuang ke Batavia. Setelah itu, sekitar tahun 1813, Kesultanan Banten dinyatakan dihapus dan wilayahnya dikuasai sepenuhnya oleh pemerintah Hindia Belanda.

Hingga kini Masjid Agung Banten Lama menjadi salah satu obyek wisata ziarah bagi umat Islam. Pemerintah Provinsi Banten sendiri saat ini sedang merevitalisasi kawasan ini. Meskipun menuai pro-kontra karena kawasan revitalisasi tersebut membuat peninggalan kompleks keraton berubah, namun pembangunan tetap jalan terus.

Biasanya jumlah peziarah makin ramai pada saat hari-hari besar Islam, seperti Maulid Nabi, Isra’ Mi’raj, bulan Ramadhan, dan 1 Muharram. Selain berdoa di makam sultan, para pengunjung biasanya mengambil air yang berasal dari sumur di masjid ini, yang dipercaya memiliki berkah untuk kesembuhan. Ada juga sebagian yang mengisi waktu ziarah dengan menaiki menara masjid.

Kompleks Masjid Agung Banten Lama dikitari oleh beberapa bangunan. Di bagian utara terdapat makam Sultan Maulana Hasanuddin. Di bagian selatan, terdapat makam keluarga sultan yang lain serta bangunan yang disebut tiamah, yaitu bangunan yang dulu difungsikan sebagai madrasah atau tempat belajar. Sedangkan di bagian timur atau di muka masjid, terdapat sebuah menara.

Arsitektur Masjid Tua

Masjid Agung Banten merupakan salah satu masjid tua di Jawa. Juliadi, penulis buku Masjid Agung Banten (2007) menulis, bentuk arsitektur Masjid Agung Banten terlihat khas karena mendapat pengaruh arsitektur Jawa. Keberadaan masjid ini juga menandai formasi khas sebuah kota kerajaan Islam di Jawa yang biasanya ditandai dengan adanya keraton, alun-alun, masjid, dan pasar. Ketika pertama kali didirikan, Kesultanan Banten merupakan wilayah bawahan (vasal) dari Kesultanan Demak di Jawa Tengah.

Kekhasan bangunan masjid ini terutama terlihat dari bentuk atapnya yang bersusun lima, serta ruang dalam masjid yang berbentuk seperti pendopo (sebuah bangunan khas Jawa yang biasa digunakan sebagai tempat pertemuan). Susunan atapnya yang bertingkat meniru gaya arsitektur rumah ibadah agama Hindu yang disebut meru.

Kata meru sendiri merujuk kepada Mahameru, yaitu nama sebuah gunung yang dianggap sebagai tempat bersemayam para dewa. Bentuk atap seperti ini masih dapat kita lihat pada bangunan pura di Bali yang bertingkat dan mengerucut seperti puncak gunung. Atap bertingkat lima pada masjid ini dianggap menyimbolkan lima rukun Islam. Di bagian atap masjid terlihat ornamen dengan ciri khas seperti pada bangunan-bangunan China. Konon, hal ini karena arsitek bangunan masjid tersebut adalah Cek Ban Cut, seorang arsitek dari China.

Di bagian dalam masjid terdapat sebuah mimbar yang agak menjorok ke tengah dan didirikan di atas tembok persegi empat, sehingga tampak menonjol. Hal ini berbeda dengan masjid-masjid pada umumnya, di mana umumnya mimbar terletak di samping mihrab (tempat imam memimpin shalat). Tiang-tiang penyangga masjid didirikan di atas umpak batu berbentuk seperti buah labu. Umpak batu seperti ini juga ditemukan di masjid-masjid tua seperti di Masjid Agung Sunan Ampel di Surabaya.

Di depan bangunan utama, terdapat serambi masjid yang merupakan bagian terluar dari masjid ini. Letaknya menghadap langsung ke bangunan menara, dipisahkan oleh sebuah kolam air. Sebagian peziarah menggunakan serambi ini untuk beristirahat usai berdoa di makam sultan.

Menara dengan Bentuk Mercusuar

Menara Masjid Banten merupakan lanskap yang mencuri pandang karena bentuknya yang menjulang setinggi 24 meter. Keberadaannya seolah mencuat dari permukaan tanah, mengalahkan bangunan lain di sekitarnya. Menara ini berbentuk segi delapan, bagian bawahnya lebar dan mengecil ke bagian atas, di ujungnya terdapat hiasan seperti mahkota. Secara keseluruhan bentuknya lebih mirip menara mercusuar.

Keberadaan Menara Masjid Agung Banten ini cukup unik karena bentuknya berbeda dengan arsitektur bangunan masjid induknya. Menara yang diarsiteki oleh Hendrik Lucaszoon Cardeel, seorang arsitek berkebangsaan Belanda ini seperti meniru bentuk menara mercusuar. Pada masa lalu, selain digunakan untuk mengumandangkan azan, menara masjid juga difungsikan untuk mengawasi keadaan di sekitar masjid dan Keraton Surosowan.

Menara yang dibangun pada masa Sultan Haji (1672-1687) ini tampak menawan di hadapan bangunan masjid dengan atap bersusun. Tihami (2007), pakar budaya Banten, mengatakan bahwa menara Masjid Banten tidak hanya memiliki fungsi religius, yaitu sebagai bagian dari masjid. Lebih dari itu, keberadaannya telah menjadi simbol pemersatu masyarakat Banten. Hal ini terlihat dari dipakainya gambar menara ini sebagai lambang provinsi Banten yang dibentuk tahun 2000.

Pengunjung diperbolehkan menaiki menara dengan membayar sejumlah uang. Ada beberapa pemuda yang bertugas mengatur naik-turunnya pengunjung ke atas menara. Untuk mencapai puncak menara, pengunjung harus menaiki lorong tangga yang besarnya hanya seukuran satu orang dewasa. Setelah melewati lorong tangga yang sempit itu, di atap menara yang dibatasi pagar besi, kita dapat melihat panorama di sekeliling masjid, di mana terlihat Benteng Keraton Surosowan yang di dalamnya terdapat puing-puing bekas bangunan keraton, tenda-tenda para pedagang kaki lima, serta lanskap Pantai Utara Jawa.

Tiamah, Meniru Nama Sebuah Kota

Syahdan, pada saat Sultan Abdul Kahhar atau yang dikenal dengan sebutan Sultan Haji berkunjung ke tanah Arab, dia mengunjungi Kota Tihamah yang terletak di utara Mekkah. Di kota itu, sultan terkesan dengan ramainya orang belajar agama. Maka ketika sultan kembali ke Banten, dia memerintahkan membangun sebuah gedung yang nantinya akan digunakan sebagai tempat belajar agama. Gedung yang terletak di selatan masjid itu kemudian dinamai Tiamah.

Sama halnya dengan menara masjid yang nampak kontras dengan arsitektur masjid yang bergaya Jawa, Tiamah juga terlihat berbeda karena bangunan ini memperlihatkan gaya bangunan Eropa. Juliadi (2007) menyebut bangunan Tiamah bergaya Indis, yaitu bangunan yang memadukan arsitektur Eropa dengan kebutuhan dan kondisi lokal, terutama untuk beradaptasi dengan iklim tropis. Untuk mengatasi udara panas, bangunan Indis dibuatdengan konstruksi tembok tebal, jarak antara lantai dan langit-langit kamar cukup tinggi, dan jendela sebagai saluran sirkulasi udara dibuat lebar.

Menurut cerita, bangunan ini juga didirikan oleh Lucas Cardeel. Model bangunan Tiamah memiliki kemiripan dengan gedung Arsip Nasional di Jalan Gajah Mada, Jakarta Barat. Dua bangunan ini sama-sama berbentuk persegi, terbagi ke dalam dua lantai, serta dihiasi oleh jendela dengan ukuran besar. Kemiripan lainnya, di dua ujung atapnya (bubungan), terdapat hiasan seperti cerobong asap yang bagian atasnya diletakkan semacam mahkota.

Bangunan Tiamah terdiri dari dua lantai, di setiap lantai memiliki tiga ruangan. Ruang-ruang di bangunan tersebut dahulu digunakan sebagai tempat untuk musyawarah dan belajar agama. Pada masa Sultan Ageng Tirtayasa, Tiamah kerap kali menjadi tempat untuk permainan debus, yaitu atraksi mempertunjukkan kekebalan tubuh dengan cara menusuk atau mengiris bagian tubuh dengan senjata tajam.

Museum Situs Kepurbakalaan

Masih di sekitar kompleks Masjid Agung Banten, terdapat satu bangunan lagi yang patut dikunjungi, yaitu Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama. Museum di bawah Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ini diresmikan tahun 1985. Museum ini memamerkan berbagai artefak peninggalan Kesultanan Banten.

Di halaman museum, pengunjung dapat melihat sebuah meriam besar bernama Kyai Amuk. Meriam ini merupakan hadiah dari Kesultanan Demak kepada Sultan Maulana Hasanuddin ketika menikah dengan putrinya. Pernikahan tersebut merupakan simbol ikatan antara Kesultanan Demak dan Kesultanan Banten. Masih di halaman museum, dapat dilihat pula beberapa lempeng batu nisan bertuliskan aksara China, serta hiasan dari batu karang yang dahulu menjadi hiasan pintu gerbang Keraton Surosowan.

Di bagian dalam museum, pengunjung dapat melihat berbagai koleksi yang menceritakan sejarah Banten dari masa prasejarah hingga masa kesultanan, seperti gerabah, arca, mata uang, senjata, keramik dan perhiasan. Di museum ini pula disajikan informasi mengenai kebesaran Kesultanan Banten sebagai bandar dagang yang ramai. Komoditas utama dalam perdagangan itu adalah lada yang berasal dari Lampung yang ketika itu di bawah kekuasaan Kesultanan Banten.

Pada masa kesultanan, hubungan dagang dengan negara-negara Eropa cukup erat. Salah satu buktinya, Sultan Banten pernah mengutus Kyai Ngabehi Naya Wipraya dan Kyai Ngabehi Jaya Sedana untuk dikirim ke Inggris guna membangun tali persahabatan. Dua utusan ini kemudian diberi gelar bangsawan oleh Charles II sebagai Sir Abdul dan Sir Ahmad.

Kebesaran Kesultanan Banten telah hilang ditelan sejarah. Namun, bekas-bekas peninggalannya menyisakan semangat untuk pantang menyerah, terutama untuk melawan kolonialisme masa kini: kemelaratan, keterbelakangan. []