Mara adalah seorang gadis cilik berumur 10 tahun yang manis. Giginya rapi dan putih, dan bila tersenyum pipi bulatnya akan bersemu kemerahan. Rambutnya tebal dan halus, serta selalu dikuncir dua atau dikepang. Matanya yang bulat berwarna cokelat muda. Siapa pun yang bertemu dengan Mara pasti akan berseru gemas melihatnya.
Sayangnya, Mara kerap menampakkan wajah galak dan cemberut. Mulutnya dikatupkan, dahinya sering dikerutkan, serta hidungnya kerap mendengus saat kesal. Sudah begitu ia memiliki sikap manja dan keras kepala. Mara juga sering menggerutu tentang banyak hal, termasuk yang sifatnya sepele.
Seperti saat ini.
“Mama! Kenapa jeruk yang Mama bawa rasanya asam?! Ugh, nggak enak!” Mara meletakkan kembali jeruk yang diambilnya di keranjang.
Mamanya hanya tersenyum lembut.
“Itu karena kamu makannya yang setengah matang, sayang. Udah Mama pisahin yang matang kok, tuh di sampingnya ada keranjang lagi.”
“Aaa! Kenapa Mama nggak bilang ke Mara dari tadi!”
Malamnya, perut Mara terasa sakit. Ia sampai bergelung di atas sofa, meringis kesakitan.
“Mamaa! Perut Mara sakiiitt!” Jeritan Mara membuat mamanya datang dengan langkah tergopoh-gopoh.
“Duh, ayo sini, sayang. Kenapa perutmu bisa sakit, ya?” Mama mengompres perut Mara dengan air hangat.
“Ini pasti karena jeruk tadi siang! Huh, aku nggak akan makan jeruk lagi. Perutku jadi sakit!”
“Kamu yakin? Bukannya tadi siang kamu habis makan rujak yang dibawa Mbak Tya juga? Mama rasa penyebabnya bukan jeruk itu deh, tapi karena kamu kebanyakan makan rujak.”
“Ihh, nggak! Mara yakin ini karena jeruk tadi, soalnya rasanya nggak enak dan Mara nggak suka. Mara suka makan rujaknya, jadi nggak mungkin perut Mara sakit karena rujak,” oceh Mara dengan yakin.
“Hahaha! Nggak begitu cara kerja badanmu, Nak. Apa yang menurutmu nggak enak, bisa aja sebenernya sehat untukmu, contohnya sayur. Kamu nggak suka makan sayur, tapi sayur sehat untuk badanmu. Dan, meskipun kamu suka makan rujaknya, mungkin perutmu belum terbiasa,” jelas Mama sambil tersenyum.
“Nggak!! Mara tetap yakin ini gara-gara jeruk tadi! Besok-besok aku nggak mau makan jeruk!” Mara masih keras kepala. Mama menarik napas panjang. Seberapa banyak pun ia jelaskan, Mara tak akan mendengarkannya.
“Ya sudah, Mama minta maaf, ya! Sekarang Mama buatin susu hangat, deh.”
“Hmm, oke deh. Terima kasih ya, Ma!” Mara tersenyum manis. Mama menghela napas lega, setidaknya Mara masih bisa tersenyum walaupun sedikit. Lalu dibuatkannya susu hangat untuk Mara. Mara pun dapat tidur dengan nyenyak.
Esok paginya, Mara terbangun dengan semangat. Ia berlari ke ruang makan sambil berteriak senang. Kakaknya sudah kembali dari liburan bersama teman-temannya. Di ruang makan, tampak seorang gadis berumur 18 tahun dengan rambut dikuncir dan senyum riang terpasang di bibir, menyambut Mara dengan pelukan hangat.
“Kak Rara! Kakak nyampe rumah jam berapa?” pekik Mara, girang.
“Ehh, ada adek gemesku. Kakak baru nyampe tadi subuh, kok. Duh, kakak kangen banget sama kamuuu!” seru Kak Rara sambil mencubit pipi Mara.
“Mara, ayo sarapan dulu! Kak Rara biar makan dan istirahat dulu juga,” teriak Mama dari dapur.
“Iya, Ma! Eh, tapi Kak Rara bawa oleh-oleh buat Mara nggak?”
“Mara, kamu kok, nanya gitu sih, sayang. Ayo minum susu dulu! Kak Rara biar istirahat dulu,” tegur Mama sambil meletakkan gelas susu Mara di atas meja. Mara cemberut kesal, lalu mendengus sambil duduk.
“Hahaha! Kok, jadi cemberut adek gemesku ini. Nggak apa-apa kok, Ma. Aku memang bawa oleh-oleh buat Mara. Sebentar ya, aku ambil dulu.”
Ucapan Kak Rara membuat Mara berseru girang. Mama hanya geleng-geleng kepala lalu lanjut memasak di dapur. Tak lama kemudian Kak Rara turun sambil membawa sebuah bingkisan berukuran sedang. Mara segera membukanya dengan semangat saat Kak Rara memberikan bingkisan itu padanya.
“WAHHH!! Kakak, ini bagus bangett!!” seru Mara senang. Diangkatnya sebuah gaun bercorak batik yang cantik dengan sebuah mahkota bunga yang menyertainya. Mama yang kaget mendengar teriakan Mara, melangkah tergopoh-gopoh ke ruang makan.
“Kenapa Mara, kok, teriak-teriak?” tanya Mama yang masih memegang spatula, lalu melirik Kak Rara yang sedang bersandar di tembok sambil nyengir. Kak Rara menunjuk dengan kepala ke arah gaun di tangan Mara. Mama pun tersenyum maklum.
“Dicoba dong, gaunnya, sayang. Mama pengen lihat,” pinta Mama.
“Iya, ayo dicoba, Dek! Kakak pengen lihat pas atau nggak.”
Mara pun bergegas ke kamarnya untuk mencoba bajunya. Tak lama kemudian ia keluar dengan wajah berseri-seri.
“Aduh, cantiknya adekku ini! Makin gemes deh!” seru Kak Rara sambil bertepuk tangan.
“Wah! Putri Mama, gaunnya jadi makin cantik kalau dipakai Mara,” pujian Mama membuat Mara tersenyum bangga.
“Jumat nanti Mara mau pakai ini, ah. Mara mau jadi putri di Festival Kostum hari Jumat. Boleh kan, Ma?” tanya Mara, semangat. Mama mengangguk setuju, Kak Rara pun begitu. Rasanya Mara tak sabar untuk menunggu hari Jumat datang.
Namun, di hari Kamis, Mara mendatangi mamanya yang sedang mengobrol dengan Kak Rara. Dengan wajah cemberut dan mata merah Mara mengatakan tidak jadi memakai gaun batik untuk festival.
“Lho, memangnya kenapa? Kamu cantik kok, kalau pakai gaun itu!” Kak Rara terlihat heran.
Mara yang sedang duduk di sofa, bersedekap dan mengatupkan mulutnya. “Kata Rio, Mara nggak cocok jadi putri. Mara katanya lebih cocok jadi penyihir. Mara kesel sama Rio. Temen-temen jadi ngetawain Mara di kelas,” gerutu Mara, masih bersedekap dengan pose ngambeknya.
Mama melirik Kak Rara, lalu tersenyum kecut.
“Mama mau masak dulu, ya!” Mama beranjak ke dapur meninggalkan Kak Rara dan Mara berdua.
“Alasannya apa emang Rio ngatain Mara penyihir?” Kak Rara menarik Mara duduk di sebelahnya.
“Katanya, Mara suka marah-marah dan ngambek. Terus kata Rio, putri itu harus banyak senyum dan baik hati,” jawab Mara dengan suara lirih.
“Oh, kalau gitu, kenapa nggak Mara coba buktiin aja kalau Mara cocok jadi putri. Sebenernya kalimat Rio nggak salah. Mungkin dia mau Mara lebih banyak senyum. Lagi pula Mara emang akan lebih cantik kalau banyak senyum, kok. Bukannya kakak bilang Mara itu pemarah, tapi kata Mama kalau di rumah kamu suka ngambek terus. Nah, coba sekarang Mara juga lebih pengertian sama Mama. Mama juga capek lho, kalau nanti kamu ngambek terus.” Kak Rara menasihatinya dengan senyum hangat.
Mara tadinya berniat membantah kalimat Kak Rara, tapi ia termenung dan menyetujui kalimat Kak Rara.
“Jadi, besok mau nggak jadi putri?” tanya Mama yang tiba-tiba muncul dari balik tembok. Ternyata dari tadi Mama menguping dan tersenyum-senyum mendengar nasihat Kak Rara.
“Mau! Mara akan buktiin ke Rio kalau Mara itu pantas jadi putri! Mara janji akan lebih banyak senyum. Soalnya Mara mau jadi putri cantik yang baik hati dan suka senyum kayak Kak Rara!” ujar Mara penuh tekad. Mama dan Kak Rara hanya saling menukar senyum, menantikan perubahan dari Mara.
Esoknya, sepulang dari Festival Kostum, Mara menghampiri Kak Rara dengan riang.
“Kakaaak, Mara pulang!”
“Eh, udah pulang si adek gemes. Gimana?”
“Hihihi! Tadi aku ketemu Rio sebelum pulang. Dia minta maaf udah ngatain aku, dan katanya aku sekarang lebih cantik karena banyak senyum. Kata temen-temen juga aku jadi berubah. Berubah jadi putri baik!” Mara bercerita sambil tersenyum senang. Kak Rara memeluk adik semata wayangnya itu.
“Terus, jadi akhirnya Mara mau gimana?”
“Mara mau kayak gini terus! Soalnya enak, temen-temen jadi pada baik ke Mara dan muji Mara cantik. Maaf ya, kalau dulu Mara suka marah-marah. Sekarang Mara bakal lebih sabar, deh, janji!” ucap Mara, penuh tekad.
Kak Rara dan Mama tersenyum lega melihat putri pemarah sudah berubah menjadi putri murah senyum. Sejak saat itu juga Mara selalu berusaha lebih mengendalikan dirinya dan tentu saja, jadi lebih sering tersenyum![]