Dia bercerita tentang ayahnya yang sering keluar rumah dan selalu pulang dengan bermacam oleh-oleh. Ada cokelat, buah-buahan, manisan, susu, dan banyak lagi.

“Ada juga puding.”

“Suka yang rasa apa?”

“Stroberi.”

Selalu begitu. Beberapa kanak-kanak yang kutemui lebih menyukai rasa stroberi. Hal serupa juga terjadi pada anakku—Samarkand—yang usianya belum genap empat tahun. Saat Rina—anak tetanggaku— sedang bermain-main di teras rumah petak, Samar baru saja disuapi sarapan pagi oleh ibunya. Jika semua berjalan lancar, empat bulan lagi Samar akan bertemu adiknya: bayi perempuan yang mungil dan manis.

“Semuanya milik Samar?”

“Iya. Dia juga suka makan puding.”

Dia kembali menyusun mangkuk-mangkuk plastik mini bekas wadah puding instan yang sering kubelikan untuk anakku itu. Istriku tidak pernah membuangnya. Biasanya istriku mencucinya dengan bersih dan mengumpulkannya di suatu tempat agar anakku bisa menggunakannya untuk bermain menyusun menara. Namun, sejak membaca artikel di sebuah majalah, istriku menyarankan kepadaku agar mengurangi kebiasaan membeli makanan ringan semacam itu. Istriku mengatakan sesuatu yang meyakinkan tentang bahan pengawet dan efeknya dalam jangka panjang. Aku menanggapinya dengan ringan dan memilih untuk menyetujuinya saja. Selanjutnya istriku lebih suka membeli bahan-bahan mentah, dan membuat puding sendiri di dapur kami yang sempit.

“Sudah siap semua, Mas,” kata istriku, setelah memasukkan makan siangku ke dalam tas.

Aku segera mengenakan sepatu dan siap-siap pergi seperti hari-hari sebelumnya.

“Mau ke mana?” tanya Rina.

“Mau berangkat kerja,” sahut istriku. “Rina tidak masuk sekolah?”

Dia menggeleng, lalu mengatakan bahwa hari itu tanggal merah dan sekolah libur.

“Tidak libur, ya?”

Istriku menoleh ke arahku. Sejenak aku dan istriku bersitatap.

“Di kantor ayahnya Samar, boleh masuk kerja meskipun hari libur,” jawab istriku.

Aku tersenyum, teringat jawaban yang sama ketika gadis kecil itu menanyakan hal yang serupa kepadaku di sebuah hari Minggu.

Saat aku mulai mengayuh sepeda, Samar berlari-lari kecil mengikuti. Dia melakukan hal seperti itu setiap hari dan baru berhenti ketika aku melambai kepadanya dari luar pintu gerbang kompleks rumah petak. Namun hari itu, sepertinya dia enggan melepaskanku begitu saja. Aku tahu, terkadang kami memang harus melalui drama-drama kecil dulu sebelum perpisahan-perpisahan kecil itu terjadi.

Aku terpaksa berhenti dan turun dari sepeda saat jari-jari mungilnya berusaha memegang roda sepedaku. Aku dekatkan wajahku ke wajahnya yang tampak kurang bahagia. Aku mencoba membujuknya bahwa aku tidak akan pergi lama-lama. Aku katakan padanya bahwa sepulang kerja akan mengajaknya jalan-jalan ke taman, tapi tetap saja, hatinya tidak kunjung luluh. Dia malah menarik-narik tanganku dan mengatakan kepadaku—dengan bahasanya yang belum sempurna—bahwa dia ingin ikut. Campur tangan istriku pun belum bisa mengakhiri keras hatinya. Aku sudah hampir menyerah dan berpikir untuk kembali ke rumah saja ketika dalam benakku melintas sesuatu. Kupegang pundak kecilnya dan menatapnya dengan sungguh-sungguh.

“Nanti ayah belikan puding yang banyak. Mau, kan?”

Serta merta dia mengangguk dan mulai melangkah ke arah ibunya—yang sekilas tampak kurang setuju dengan caraku membujuk.

“Rasa setobeyi ya?” katanya kemudian.

Pelan-pelan, aku kembali mengayuh sepedaku. Gang di depan kompleks rumah petak cukup panjang dan terasa begitu lengang pagi itu. Beberapa saat aku mendengar suara orang bercakap-cakap sebelum kemudian samar-samar hilang sama sekali digerus bising kendaraan.

“Ke kantor kok naik sepeda?”

“Iya. Suka naik sepeda.”

“Kemarin Rina lihat jalan kaki.”

“Iya. Suka jalan…”

***

Saat aku pulang, anak-anak sedang bermain-main di halaman kompleks. Karena tidak melihat Samar bersama mereka, aku langsung menuju pintu rumah petak dan mendapati istriku sedang membaca buku di atas tempat tidur. Istriku memang gemar membaca. Kegemarannya itu terasa berlipat-lipat sejak kehamilannya yang kedua. Tidak jarang aku memergokinya membaca hingga menjelang subuh.

“Dia belum lama tertidur,” kata istriku. “Tumben, cepat sekali pulangnya.”

“Kantor cepat tutup hari ini,” jawabku.

Udara terasa gerah. Butir-butir keringat bertebaran di kening anak dan istriku. Aku mencoba mengubah posisi kipas angin di kamar itu agar lebih tepat mengarah kepada kami.

“Aku hampir kewalahan tadi. Hari ini benar-benar parah.”

“Dia begitu lagi, ya?”

Seraya merebahkan badan, aku mendengarkan istriku bercerita. Sejak menempati rumah petak, anakku memiliki lebih banyak teman bermain. Hal itu membuatnya lebih cepat mandiri. Caranya berbicara pun sudah semakin lancar—sesuatu yang sempat kami khawatirkan sebelumnya. Namun, ada hal-hal baru yang tidak bisa kami hindari begitu saja. Misalnya, dia sering menangis di tengah keceriaan teman-temannya. Beberapa hari lalu dia tidak mau pergi dari teras tetangga. Anak itu terus meraung-raung, tidak menggubris ibunya yang mencoba membujuknya. Dia menginginkan sebuah pesawat mainan seperti yang dimiliki Ronal, anak tetangga yang usianya lebih tua darinya.

Hal yang nyaris sama terulang kembali. Kali ini penyebabnya es krim. Kami tahu, apa yang akan terjadi dengannya jika terlalu sering menyesap es krim. Bukan sekali-dua kami harus berurusan dengan dokter gara-gara es krim. Oleh karenanya, istriku berkeras melindunginya dari makanan semacam itu.

“Dia terus merengek, lalu menangis sejadi-jadinya.”

“Apa Rina tidak mau berbagi?”

“Mas ini bagaimana?” tanggap istriku. “Kalaupun Rina mau membaginya, aku yang akan melarangnya.”

“Sesekali tidak apa-apa, kan?”

“Maksud, Mas?”

“Sesekali belikan anak kita es krim. Dokter hanya bilang jangan terlalu sering.”

Pelan-pelan istriku bangkit dari tempat tidur, lalu kembali dengan membawa sebuah dompet yang terbuka dan menyerahkannya kepadaku. Istriku selalu membawa dompet itu jika berbelanja. Aku segera melongok ke dalam dompet itu, mencoba meraba-raba isinya dan menemukan beberapa lembar kuitansi, nota tagihan, catatan resep dokter, dan sebuah kartu ATM yang sudah lama tidak kami gunakan.  

“Bisa kubayangkan bagaimana perasaanmu hari ini,” kataku, seraya meletakkan dompet itu di samping istriku yang tengah berbaring memunggungiku.

“Tidak ada puding untuknya, kan?”

Tiba-tiba aku teringat janjiku. Lalu aku membayangkan: Samar terbangun menagih janji itu, menangis sejadi-jadinya, lalu semua tetangga tahu dan diam-diam ada yang prihatin bahwa orang tua semacam aku bahkan tidak sanggup membelikan anaknya sebiji puding instan!

 “Astaga, aku lupa! Yang rasa stroberi, kan?” kataku seraya bangkit dari tempat tidur, tapi tangan istriku segera menahanku. Lalu dengan gerakan perlahan dia meletakkan tanganku di atas perutnya yang semakin membukit.

“Sudahlah, di sini saja dulu. Tadi aku membuatkan semangkuk puding untuknya dan dia senang. Untung masih ada bahan tersisa,” katanya kemudian.

Aku bisa merasakan getaran yang berulang-ulang, bergerak-gerak, seolah menendang-nendang dalam perut istriku. Aku teringat ketika istriku mengandung Samarkand—anak itu terlalu aktif. Istriku selalu memanggilku dengan gembira ketika hal itu terjadi. Biasanya aku akan segera menempelkan telinga dan tanganku ke perut istriku dan merasakan sensasi kegembiraan yang sama seperti kehamilannya kali ini.

“Dia begitu aktif. Seperti kakaknya,” bisikku.

***

Istriku meletakkan puding instan itu di meja makan dan buru-buru merogoh mulut Samar untuk mengeluarkan sesuatu. Anak itu kembali menangis sejadi-jadinya. Seraya bertanya-tanya, aku mencoba memeriksa makanan ringan itu. Aku bingung, mencari-cari di mana letak tanggal kedaluwarsanya.

“Di mana beli puding sialan ini?” tanya istriku, nada suaranya benar-benar tidak seperti biasanya.

Belum sempat kutanggapi pertanyaannya, istriku sudah berlalu seraya menggendong Samar. Aku mendengar suara pintu gerbang yang terbuka, lalu suara tangis anak itu yang menyayat, lamat-lamat menjauh. Aku kembali mencoba memeriksa “puding sialan” itu. Aku benar-benar tidak bisa menemukan tanggal kedaluwarsanya. Lalu aku mencoba mencicipinya. Ada rasa yang aneh di ujung lidah. Aku berusaha memperhatikannya dengan lebih saksama dan mendapati bahwa tekstur puding instan itu memang sudah berubah. Tidak percaya dengan apa yang terlihat, aku mencoba mencicipinya kembali. Pada saat yang sama, tiba-tiba muncul sosok Rina—gadis kecil tetanggaku itu—di depan pintu.

“Orang tua suka makan puding juga, ya?” tanyanya, seraya mengusap lelehan es krim yang masih belepotan di bibirnya.

Aku mengangguk, mencoba menanggapinya seraya kembali menyuapi mulutku sendiri dengan puding instan rasa aneh itu—seolah tidak terjadi apa-apa.

“Rasa stroberi, ya? Samar pasti suka.”

Tiba-tiba, aku teringat kantor LSM tempatku bekerja yang terpaksa tutup karena tidak mampu membayar sewa bangunan. Tiba-tiba, aku ingin memiliki sebuah rumah yang jauh dari tetangga. Tiba-tiba, puding instan itu terasa sangat kecut dan membuat gigi-gigiku bergemeretakan karena ngilu yang tertahan. Tiba-tiba, aku begitu benci rasa stroberi.[]

Mataram, 23 Januari 2019