Salah satu yang membuat saya kagum dari negara ini adalah pertumbuhan ekonominya. Korea Selatan atau Republik Korea merdeka tiga tahun setelah Republik Indonesia. Sama-sama bekas jajahan Jepang, hanya saja Korea mengalami puluhan tahun di bawah penindasan Jepang.

Perjalanan saya ke Korea Selatan ini dalam rangka mengawal grup Gong Traveling selama 24-29 April 2019. Saya bertugas membekali peserta dengan pelatihan menulis kisah perjalanan, untuk nantinya diterbitkan dalam sebuah buku antologi.

Di Korea saya menyerahkan petunjuk jalan kepada Awalia Maulina,  seorang guide dan traveler yang pernah menjadi tutor Bahasa Korea di Rumah Dunia. Pernah kuliah di Negeri Ginseng selama dua tahun menjadikan Lina guide yang andal. Saya tinggal fokus di pelatihan menulis saja.

Ok,  balik lagi apa menariknya Korea buat saya. Sebagai sesama negeri yang baru merdeka, Korea melaju pesat meninggalkan Indonesia. Dan sebalnya, mereka sanggup memberdayakan kebudayaan yang dimiliki menjadi komoditi laris manis tanjung kimpul.

Produk kosmetika, entertainment sampai kuliner merambah ke seluruh penjuru dunia. Sedangkan di dalam negeri, kultur agraris tetap dijaga dan dipertahankan. Korea menjadikan hidup sehat sebagai gaya hidup. Hutan dijaga sebagai sumber air, produk pertanian terbaik dihasilkan sekaligus melakukan proteksi terhadap kemungkinan buruk dari luar.

Gampangnya begini, pertanian Korea sudah melakukan perbaikan luar biasa sehingga menghasilkan produk terbaik. Hal ini harus dijaga dari hama atau penyakit apa pun yang menyerang tanaman. Nah, usaha apa yang harus dilakukan? Dari gerbang mana proteksi dimulai?

Berhubung pengaruh entertainment mereka yang luar biasa, Korea dikunjungi banyak orang dari seluruh dunia. Para pengunjung ini membawa segala macam dari negerinya untuk masuk Korea. Termasuk virus atau bakteri, yang kemudian dikhawatirkan memberi dampak buruk bagi keberlangsungan upaya hidup sehat bagi rakyat Korea. Saya kira semua negara memberlakukan hal semacam itu bagi rakyatnya. Yang membedakan adalah tegas atau longgarnya aturan. Itu yang kemudian saya mengerti dari kejadian yang saya alami berikut ini.

Masuk Pemeriksaan Pabean

Setelah perjalanan panjang, berangkat dari rumah sebelum subuh, pukul 21.25 waktu setempat mendarat di Bandara Incheon, Seoul, Korea Selatan. Semua proses terlewati dengan lancar termasuk imigrasi. Alhamdulillah, rasanya ingin jingkrak-jingkrak, mengingat sebentar lagi menuju hotel dan bisa rehat.

Tapi keraguan mulai muncul saat menemukan koper saya dipasang gembok kotak berwarna oranye. Saya baca sekilas, sepemahaman saya gembok itu disclaimer atas kerusakan koper. Memang dari rumah juga koper pink milik anak bungsu itu sudah lepas pegangannya.

Jadi saya pikir pihak bandara nggak mau tanggung jawab kalau saya komplain atas kerusakan itu.  Baiklah, troli berisi tiga koper mulai kami bawa menuju Gate B, di mana guide sudah menunggu.

Tepat sebelum sampai Gate B kami diarahkan ke lorong sebelah kiri. Petugas menyebut angka 13, sambil menunjuk koper saya. Saya mulai curiga, was-was dan heran. Apa salah dan dosa hamba? 

Sepertinya semua baik-baik saja. Berat bagasi masih sisa banyak. Isi koper cuma baju ganti, ada sandal dan sedikit makanan. Eh ada juga lainnya, gantungan baju lipat dan pembalut. Lalu apa masalahnya? Tinggal buka gembok koper khusus kok harus di custom?

Di lorong 13 petugas menunjuk-nunjuk koper saya. Lalu minta saya membuka gembok mini yang terpasang bersebelahan dengan gembok kotak mereka. Setelah itu giliran mereka membuka gembok oranye. Saya dipersilakan membuka koper.

Maka bertebaranlah pemandangan aneka ragam. Baju, dalaman, gantungan lipat, sandal jepit dan sebaran pembalut. Yah, apa boleh buat, wilayah privasi koper saya sudah dijajah. Bwahahaha.

“Kamu bawa sesuatu yang dilarang?” tanya petugas dalam Bahasa Inggris terbata-bata. Ini sama seperti ritme ingatan saya yang tertatih-tatih menuntun pada kenangan saat sebelum berangkat.

Malam itu saya masih menemani Odie, anak ketiga yang dirawat karena Demam Berdarah di sebuah rumah sakit swasta. Saat saya sedang membungkusi cokelat bubuk ke dalam plastik,  Odie bilang, “Nanti disita lho, Mah. Dikira narkoba.”

Saya cuma tertawa, “Nanti petugasnya mamah suruh nyeduh aja.”

Tapi 24 jam setelahnya saya tidak sanggup mengatakan itu ke petugas sesungguhnya. Pertama karena bukan cokelat bubuk yang jadi incarannya. Kedua karena saya sudah malas berdebat lantaran sibuk mengingat-ingat pertanyaannya, barang larangan apa yang saya bawa.

“Saya bawa apa, ya?” Saya malah balik bertanya.

Petugas agak kesal, “Barang yang dilarang semacam daging segar.”

“Oh, nggaklah,” sergah saya cepat. Lo kira gue tukang jagal apa. Tapi kalimat terakhir ini cuma muncul di sini, saat menuliskan kisah itu. Bwihihihi.

“Ya…, misalnya sosis….” Petugas itu setengah memancing.

“Ooo…. Iyah, kalau sosis saya emang bawa,” jawab saya dengan polos.

Petugas tersenyum penuh kemenangan, “Coba ambil!”

Saya baru sadar masuk dalam pancingan jerat kemunafikan jala yang dianyam dari benang paling halus hingga tanpa sadar membelit tanpa dapat berkelit.

(Eh sebentar,  sebenarnya pancing atau jala, yak?)

“Ini,” saya menyerahkan seplastik ransum.

Petugas membuka plastik, “Kamu tahu nggak kalau ini dilarang masuk ke Korea.”

Saya mendebat, “Saya butuh itu untuk teman makan nasi.” Semacam itulah jika diterjemahkan, dalam Bahasa Inggris agak sulit mencari padanan kata.

“Ya,  tapi ini nggak boleh. Kami akan menyitanya. Mana paspornya?” Petugas mengalihkan plastik ransum itu ke temannya.

“Kami melarang makanan seperti daging dan ikan segar, sosis, makanan siap makan, karena takut terkontaminasi dan terinfeksi bakteri,” sambungnya. Ia lalu memberikan brosur daftar barang terlarang untuk dibawa masuk Korea.

Di dalam brosur ada daftar larangan membawa buah segar, tanaman dengan tanah sebagai media tanam dan serangga hidup, binatang peliharaan, telur ayam dan unggas lainnya. Daging-dagingan apalagi, mau yang segar, diasap atau produk kalengan. Begitulah, sosis saya masuk kategori makanan berbahaya yang kalau masuk Korea dapat memengaruhi stabilitas negara tersebut.

Well…. Akhirnya saya hanya dapat menyerahkan paspor dan menatap nanar plastik yang dibawa pergi menjauh, berujung tindakan paling keji malam itu: dibuang di tempat sampah.

Malam itu, tiada yang dapat membayangkan betapa berat berpisah dengan sosis Sogut rasa ayam dan sapi, abon sapi merek murah dan agak mahal, Bon Cabe rasa ebi level 2, belut goreng,  yang rencananya menjadi pendamping nasi di saat sarapan dan momen-momen lapar lainnya.

Tapi ya sudahlah, demi kelancaran perjalanan, saya ikhlaskan. Semoga diganti dengan yang lebih baik dan enak. Maka kami melanjutkan perjalanan menuju hotel. Alkisah, sejam perjalanan sampailah kami di hotel.

Acara bongkar koper dimulai. Ransum-ransum dikumpulkan demi kelangsungan pemberdayaan perut agar tenaga tetap strong.

Lalu, saya bersorak senang saat mendapati Tuhan mengabulkan doa saya, dengan mempertemukan kembali dengan Bon Cabe ebi level 2 dan belut goreng yang ternyata tidak satu tempat dengan makanan yang disita. Alhamdulillah…. (*)