Jalanan itu sunyi. Gesek angin yang bertemu dedaunan kering mulai berdengung di telingaku. Srek. Srek. Begitu terus sampai denyar lampu di ujung gang meredup dan benderang lagi. Warga tak ada yang peduli kalau lampu jalan itu semakin tua dan renta. Meredup, benderang, meredup, benderang. Begitu saja terus, sementara rembulan terus bersinar tanpa berkedip-kedip genit seperti lampu jalan.

            Kesunyian jalan barangkali sudah bosan menyaksikan aku mematung di depan rumah Lastri. Dedaunan kering pun kalau bisa akan terbang jauh ke antah-berantah. Denyar lampu itu mungkin sedang merapal doa supaya dirinya bisa padam sekalian. Aku cuma berharap kalau sinar rembulan tidak muak melihatku mematung. Kata Lastri, sinar rembulan selalu punya kabar baik untuk dibagi. Benarkah begitu, Las?

            Atau perkataanmu itu cuma candaan? Kamu memang suka bercanda, ‘kan? Kadang pula candaanmu itu sama sekali tidak lucu. Lalu, aku akan pura-pura tertawa. Kamu akan memukul-mukul lenganku supaya aku berhenti. Aku tidak akan berhenti sampai kamu juga ikut tertawa. Akhirnya kita jadi tertawa berdua. Terkikik, terbahak, sampai berguling-guling di rerumputan yang sebenarnya bau tahi ayam.

            Kalau sudah bau tahi ayam begitu, kamu akan merajuk minta pulang. Katamu, kamu perlu segera mandi. Biar wangi. Kubilang, aku tetap suka baumu yang bercampur tahi ayam. Katamu aku gombal. Kamu akan semakin merajuk buat pulang. Aku tidak punya pilihan selain mengalah. Padahal, aku benci sekali mengantarmu pulang.

            Tahu kenapa? Soalnya, aku cuma bisa menatap punggungmu berlalu. Katamu, sampai ketemu. Kataku, aku akan menunggu. Kamu masuk ke dalam rumah, lalu aku benar-benar menunggu. Jalanan sunyi, dedaunan kering, dan denyar lampu. Aku ingin sekali melintasi pagar teh-tehan itu, mengetuk pintu jati itu, lalu kuucap salam dan menyapa: Halo, Bapak calon mertua!

            Peh. Gila betul. Aku tahu, bapaknya Lastri itu, benci sekali kepadaku. Sekali waktu, ia akan berteriak kencang sekali: Lastri itu sudah kucarikan lelaki! Yang benar lakunya dan jelas asal-usulnya!Lain waktu lagi, lalu lain waktu lainnya lagi, ia masih juga suka berteriak kencang sekali.

“Tidak tahu diri! Sudah dibilang besok itu hari kawinanmu! Jangan aneh-aneh lagi!”

            Nah, betul ‘kan. Barusan itu suara bapaknya Lastri. Suaranya bergema ke mana-mana lalu disusul debam pintu yang teramat keras. Itu pasti berasal dari ayunan pintu kamar Lastri. Mungkin sekarang ia sedang membenamkan wajahnya pada bantal, sementara bapaknya terduduk di ruang tamu sambil mengatur napas. Sabar, Pak…, sabar…. Barangkali kalimat itu sedang digumamkan oleh istrinya yang lemah lembut.

            Aku sudah menghafal skenario itu di luar kepala. Sampai di titik ini, aku hanya perlu menunggu sampai lampu di rumah Lastri padam satu-satu. Selang beberapa jenak, pintu rumah Lastri akan terbuka perlahan-lahan. Mulanya hanya jemari Lastri yang tampak, lalu terbentuk satu celah, yang lama-lama jadi satu nganga. Di sanalah Lastri berdiri, dengan satu sendu yang sama, satu pilu yang serupa. Selalu begitu seperti malam-malam lalu.

            Lastri berjalan agak terhuyung. Wajahnya sembab oleh air mata. Bukan biasanya ia tidak menangis, hanya saja, kali ini lebih banyak. Aku ingin sekali bertanya: ada apa, Sayang? Namun, ia lebih dulu menggeleng-geleng untuk bilang kalau dia baik-baik saja.

Lastri tersenyum. Senyum yang mirip kabar buruk. Aku menengadah pada langit. Rembulan, rembulan…, tolong tunjukkan padaku… kalau sinarmu sungguhan membawa kabar baik….

            “Lebih baik kamu pergi saja.”

            Lastri mengucapkan kalimat tadi dengan lirih. Bibir tipisnya dikulum sambil kepalanya menunduk. Ia tidak mau melihat aku. Barangkali ia takut kalau aku akan membaca kebohongan di matanya. Soalnya, aku tahu, Lastri tidak pernah memintaku pergi. Lastri, sebagaimana mestinya, selalu membutuhkan aku.

            Tidak, kubilang. Aku mau di sini saja. Orang tuamu tidak akan tahu. Aku mau di sini. Sampai besok. Sampai rembulan benar-benar membawa kabar baik.

            “Kita tidak bisa bertemu lagi.”

            Kalau begitu kamu bisa berpura-pura tidak kenal aku. Tidak apa. Aku cuma perlu lihat kamu. Aku perlu ingat buat apa aku masih ada.

            “Besok aku bakal jadi istri orang.”

            Senyumanmu perlahan pudar. Rautmu kuyu. Aku tahu kalau kamu juga tidak mau kita berpisah. Aku tahu keinginanmu itu sangatlah kuat. Semua orang tahu. Semua orang tahu, kalau selama ini, kamu melawan orang tuamu mati-matian. Kamu berteriak pada mereka bahwa kamu bukan Siti Nurbaya. Kamu bersikukuh bahwa perjodohan itu konyol. Kamu terus menegaskan bahwa kamu punya aku. Lalu, praanggg! Bapakmu akan melempar gelas tehnya ke lantai: pecah berkeping-keping. Kamu menggigil takut dan tetangga jadi tahu. “Aib keluarga! Tidak tahu diuntung!” Begitu teriak bapakmu.

            “Kalau aku jadi istri orang, aku tidak akan menemuimu lagi. Kita akan benar-benar selesai. Sampai di sini.”

            Kali ini senyumku yang dipaksa mengembang. Kamu tahu? Kamu tidak perlu bercanda yang aneh-aneh. Aku tahu kamu tidak bisa melakukan itu. Aku tahu besok kita bakal bertemu lagi. Tidak apa. Tidak apa. Janur kuning melengkung pun aku tidak takut.

            Sementara waktu, aku tahu kamu sedang berusaha keras mengambil napas. Udara, udara, kemarilah. Penuhi rongga dadanya. Biarkan ia lega. Lega. Lega sebentar saja. Namun, udara-udara itu malah berkoloni menjadi angin dan sibuk bermain dengan anak rambutmu. Kamu jadi makin cantik. Apalagi sinar rembulan berpendar sungguh lembut. Menyentuh tulang pipimu. Melewati lekuk hidungmu. Turun ke lembaran bibir tipismu. Bibir tipis itu, yang lantas mengecap satu kalimat paling kubenci nomor satu di dunia.

            “Aku tidak bercanda.”

            Aku tercekat. Kamu juga. Desis angin makin sibuk beradu dengan dedaunan kering. Kakimu terseret ke belakang. Satu langkah, dua langkah. Jalanan sunyi seperti memanjang dan kamu jadi jauh sekali. Matamu membuka kian lebar, pupilmu membesar, tetapi rautmu tampak ganjil. Lenganku terangkat hendak menggapaimu. Kamu menatap aku dalam sekali. Kamu angkat lenganmu ke udara. Lalu, satu bariton suara datang menginterupsi.

            “Neng, kok sendirian aja?”

            Denyar lampu mendadak jadi lebih terang. Itu suara Pak Darsim, tetangga di sebelah rumah Lastri. Seketika lengan Lastri kembali turun memeluk gravitasi. Kulihat pupilnya mengecil, pandangannya kosong untuk sepersekian detik. Lastri mencari aku. Aku mencari aku. Semuanya tiba-tiba terasa seperti gulungan wol kusut yang mustahil terurai kembali. Lastri memandang lekat ke tempat tadi aku berada. Aku memandang lekat ke tempat tadi aku berada. Namun, aku tidak ada.

Ada jalanan sunyi, dedaunan kering, denyar lampu, dan Pak Darsim. Aku tidak ada.

            “Anu, Pak, ini mau masuk.”

            Lastri berbalik dan menggiring langkah menuju rumahnya. Pak Darsim berdiam di tempat seperti menunggu Lastri sampai benar-benar masuk. Ada suara mendecih dari bibir Pak Darsim sebelum ia ikut berlalu pergi.

Srek. Srek. Langkah Pak Darsim yang diseret terdengar memecah malam. Malam yang tiba-tiba terasa begitu gelap. Gelap yang dipeluk sunyi, sunyi yang padanya berserak dedaunan kering, dedaunan kering yang olehnya berdenyar satu lampu. Lalu, aku? Aku tidak ada.

            Aku… memang tidak pernah ada.[]